Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan Terakhir Lelaki Tua

21 April 2024   21:59 Diperbarui: 21 April 2024   22:49 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam masih menunjukkan angka sepuluh malam lebih sedikit saat rasa kantuk muncul. Belum terlalu malam untuk tidur. Namun seharian menemani orang terkasih berbaring di tempat tidur persiapan pasang ring jantung sungguh melelahkan.

Ketika gerimis mulai redah, aku keluar dari kamar di lantai paling atas tanpa menggunakan lift untuk sekedar jalan-jalan menghilangkan kejenuhan.

Saat di depan tangga turun paling bawah kulihat seorang lelaki tua duduk bersila di sebuah tikar. Wajahnya agak pucat dengan tatapan sedikit kosong. Di sampingnya seorang lelaki muda tidur pulas dengan sedikit dengkuran.

"Boleh duduk di sini, Pak?" Tanyaku basa-basi untuk menemani karena hampir seluruh selasar telah dipenuhi keluarga pasien yang terpaksa tidur di tempat itu.

Ia hanya menjawab dengan senyuman sambil mengulurkan tangan kanannya saat aku ingin bersalaman. 

Telapak tangannya begitu dingin.

Sepuluh menit aku duduk di sampingnya dalam diam.

"Ini anakku satu-satunya...," katanya mengawali pembicaraan. Diusapnya dahi lelaki muda yang tidur pulas itu.

Setitik airmata tampak keluar dari matanya. 

"Ia belum berani berkeluarga karena harus merawatku." Katanya sendu.

"Aku ingin ia segera menikah. Bisakah kamu menyampaikan?"

0 0 0

Gerimis makin deras dan udara dingin makin mencekam.

"Saya belikan kopi ya, Pak..."

Kembali ia menjawab dengan senyuman.

Tak perlu waktu lama aku membeli dua gelas kopi jae di kantin rumah sakit.

Tetapi saat kembali ke selasar untuk memberikan kopi itu, lelaki tua itu sudah tak ada di tempat.

Segelas kopi kutaruh di dekat tikar dan segelas lainnya kuminum sendiri.

Baru sesruputan kopi kuminum sebuah pesan singkat masuk di hape meminta aku segera kembali ke kamar.

Hampir saja aku pingsan saat di depan kamar kulihat tiga perawat mendorong felbet dengan pasien ditutup selimut seluruh tubuhnya.

Spontan kubuka selimut di bagian wajah. Astaghfirullah bukan istriku tapi lelaki tua di selasar tadi.

Antara suka dan duka hati ini bergejolak. Dan hati ini bertanya mampukah aku menyampaikan pesan terakhir pada lelaki muda yang masih pulas di selasar di bawah sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun