Jauh hari sebelum masa kampanye pemilu 2024 dimulai sudah banyak bakal calon legislatif yang mulai tebar pesona.
Bahkan mereka yang ingin jadi pemimpin. Mulai dari yang belum pernah duduk di legislatif hingga yang ingin duduk lagi. Atau yang pernah jadi pemimpin dan ingin terpilih lagi.
Tak ada salahnya mempunyai ambisi pribadi dan minta dukungan orang-orang terdekat. Kemudian mengumpulkan mereka di suatu tempat yang menarik dengan jamuan makan yang berbeda.
Temanya pun beraneka macam mulai dari menggali budaya setempat, silaturahmi seniman dan budayawan, potensi perikanan, meningkatkan hasil buah lokal atau pertunjukan kesenian. Bahkan ada yang lebih berani dengan tema 'konsilidasi'.
Para undangan pun lebih banyak dari golongan sesuai dengan tema dan beberapa orang yang bisa sebagai vote getter.Â
Ada dosen, ada guru, pemuka  masyarakat, termasuk pemuka agama setempat. Mereka ini memengaruhi atau mengajak orang lain secara tidak langsung memilih bakal calon legislatif tersebut yang mendanai acara tersebut.
Kampanye terselubung ini tentu saja sangat menyenangkan para undangan. Bukan karena ada jamuan makan atau pertunjukan seni lokal yang menampilkan salah satu dari keluarga undangan belaka.Â
Lebih dari itu ada door prize menarik dan saat pulang menerima tas berisi kaos bergambar partai dan bakal calon legislatif. Dan tentu saja ada amplop berisi lembaran merah jambu.
Siapa yang tidak tertarik? Tak heran ada mereka yang hadir pada acara semacam ini yang diadakan oleh partai dan bakal calon legislatif yang berbeda.
Masa kampanye sudah dimulai. Bakal calon legislatif kini sudah menjadi calon legislatif. Mereka harus berjuang untuk lolos. Apalagi yang terdaftar pada nomer urut rendah.
Nomer 2 saja belum tentu terpilih apalagi nomer 3, 4, dan seterusnya. Ditambah lagi dari partai baru yang belum dikenal dengan prestasinya termasuk partai gurem.
Kampanye dengan retorika-retorika basi seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial, korupsi, ketenagakerjaan, masalah lingkungan hidup, dan kesehatan hanya menjadi gaung yang tidak digubris.
Serangan fajar seperti pemilihan lurah pada masa lalu sudah tidak sakti lagi.
Tebar pesona hanya mencoreng nama. Tebar amplop lebih mengena. Tak harus saat fajar. Bisa pagi, siang, atau pun sore. Bahkan saat tengah malam. Saat hari belum merekah. Saat masa kampanye belum dimulai.
Di pasar, sawah, bahkan kantor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H