Pada masa kini buah apa saja sudah tersedia. Mulai dari buah lokal hasil persilangan hingga buah impor yang melimpah ruah. Buah impor yang dulu dikhususkan untuk memenuhi kaum ekspatriat kini mudah didapat di pasar tradisional. Bagaimana dengan buah lokal yang dulu menjadi menu tradisional masyarakat perdesaan? Ternyata masih cukup eksis sekalipun konsumennya terbatas pada masyarakat perdesaan. Penjualannya pun terbatas pada pasar tradisional di pelosok, seperti Pasar Jodog Bantul, Pasar Tutur Nongkojajar Pasuruan, Pasar Gondanglegi dan Wonokerto, Malang.Â
Untuk buah lokal tradisional yang masuk supermarket selama ini hanya ada dua, yakni ciplukan atau bahasa kerennya golden berry dan duwet atau juwet. Ciplukan atau goldenberry kini juga mulai masuk jenis impor. Ukuran diameternya sekitar 3cm lebih besar daripada lokal paling besar hanya 1,2cm. Mengapa buah lokal tradisional sulit masuk supermarket? Alasannya sederhana. Di pasar tradisional saja kurang laku apalagi di supermarket. Kurang lakunya ini disebabkan perubahan gaya hidup yang juga memengaruhi selera lidah terutama kaum muda. Beda dengan kaum lansia jadul atau sedikit anak perdesaan yang hidup dan bermainnya di sekitar kebun atau hutan yang ditumbuhi pohon buah lokal.
Mungkin para lansia ingat saat masih anak-anak dulu harus memanjat untuk mendapat beberapa buah talok atau kersen atau ceri. Harus membanting atau menjepitkan pada pintu untuk memecah buah kedondong sebelum memakannya. Mengemut sambil nyengir buah asam Jawa yang ditaburi sedikit garam. Juga mengunyah buah jambu mete atau jambu monyet yang rasanya nano-nano manis, kecut, dan sepet.Â
Buah lokal tradisional memang nikmat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H