Lima menit kemudian si penjual keluar dan menanyakan pesanan saya sambil tersenyum  ramah mempersilakan masuk ke sebuah ruangan tanpa jendela di belakang warung.Â
Dengan alasan ingin udara segar saya menolaknya.Â
Penolakan ini ternyata membuat dia terkejut dan dengan tatapan mata agak sayu dia mohon maaf. Kali ini saya yang agak terkejut. Apalagi kemudian ada dua orang perempuan muda berusia tak lebih dari 20 tahun keluar ruangan tersebut menuju ke sebuah rumah sederhana di dekat warung.
Sapaan dengan senyum manis sedikit genit membuat pikiran ini melayang pada cerita suram dari teman-teman seniman.
Kisah-kisah perempuan-perempuan yang mempertahankan hidup dalam ketidakpastian dan keterpurukan karena ketidakberdayaan.
Panarukan sebuah pelabuhan di ujung timur Jawa Timur ada sejak masa Majapahit dan semakin terkenal setelah H.W Deandels, gubernur jendral Hindia Belanda membangun Jalan Pos Anyer-Panarukan sejauh 1.000 km. Jalan yang dibangun untuk memperlancar gerak militer Belanda dan memantau pergerakan pasukan Inggris di Laut Jawa yang ingin menguasai Pulau Jawa.
Pembangunan Jalan Pos dengan kerja paksa membuat rakyat menderita. Hanya sedikit kesejahteraan yang dirasakan masyarakat sekalipun Jalan Pos juga untuk memperlancarkan perekonomian.
Dalam ketidakberdayaan, seorang penari Panarukan mengajak memberontak pada kolonial Belanda dengan perlawanan dalam bentuk sebuah tarian.Â