Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Romantika Hidup Bertetangga

1 Desember 2022   13:22 Diperbarui: 1 Desember 2022   18:12 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika hidup dalam masyarakat tradisional selalu kental dengan nilai persaudaraan. Sekalipun tidak ada hubungan darah dalam satu keturunan keluarga besar.

Kerabatan ini tampak dalam pergaulan masyarakat kelas menengah ke bawah yang hidup dalam komunitas perdukuhan, perkampungan, dan perumahan. Terutama di kota kecil dan besar tetapi bukan metropolitan.

Persaudaraan ini jelas tampak ketika ada kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan sekitar, jaga kampung dengan ronda malam, salah satu tetangga sedang berduka, maupun ada tetangga yang bersukacita. Bersukacita karena kelahiran anggota keluarga baru, sunatan, lamaran, dan perkawinan.

Saling mengunjungi lalu omong kosong berbincang santai penuh keakraban.

Di perdesaan agak unik lagi, di mana ada tempat yang bisa menjadi sebuah institusi tak resmi untuk secara tak langsung membicarakan tentang bagaimana kehidupan yang harus dijalani dalam komunitas masyarakat tersebut.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Bagi kaum perempuan, tempat yang biasa digunakan semacam ini adalah sungai, sumber mata air, dan telaga untuk mencuci pakaian dan mandi.

Bagi kaum pria, biasanya pos kamling atau pojok kampung di bawah lampu penerangan jalan umum. Bahkan di gubuk pinggir sawah saat istirahat setelah mengelola sawah.

Perbincangan tak resmi ini kadang menjadi bekal atau bahan saat pertemuan tingkat RT, RW, atau perdukuhan sehingga tinggal ketok palu menjadi sebuah rencana yang harus dilakukan tanpa rapat bertele-tele.

Dalam psikologi sosial, sok ilmiah sedikit ya..., ada orang introvert yang tidak suka bergaul. Mohon dimaklumi jika mereka seperti ini. Masalahnya orang kampung atau orang pinggiran tentu tidak mengenal istilah dan arti ini. Mereka menganggapnya sebagai orang sombong.

Mereka yang punya anggapan sombong ini juga harap dimaklumi. 

Kenyataan memang ada yang demikian. Merasa dirinya sebagai orang berpendidikan tinggi, pejabat, pengusaha, petinggi, atau secara ekonomi lebih mapan lalu enggan bergaul dengan tetangganya. Merasa tidak selevel.

Bertemu tanpa sebuah senyuman apalagi sapaan artinya membangun benteng menutup diri.

Kesibukan rutinitas pekerjaan memang menyita waktu dan melelahkan. Pergaulan dengan sesama terdekat tetap dijalin demi kerukunan.

Alasan menghindari gibah justru bisa membuat gibah.

Mendengar percakapan guyon parikena atau dalam bahasa pergaulan artinya saling sindir tentulah bermaksud membangun sebuah keakraban tanpa tunjuk jidat sebuah kekeliruan seseorang.

Ada juga yang blaka suta tanpa tedeng aling-aling alias terus terang tanpa ditutupi untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya kurang tepat.

Kekuatan ekonomi, kesejahteraan finansial, pendidikan dan jabatan tinggi, serta banyaknya orang lebih dekat karena hal tersebut tidak menjamin adanya sebuah dukungan massa.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

0 0 0

Sebuah kisah.

"Kita bangun desa, kampung, dukuh ini yang tenang dan damai." Kata seseorang yang kampanye mencalonkan diri menjadi kepala desa di suatu wilayah.

"Hah tenang? Memang desa kita ga tenang? Apa dibuat setenang kuburan..." Seloroh lirih seorang warga penuh keheranan.

"Siapa sih itu?" Tanya seorang warga pada yang lain.

"Embuh... Ga tahu. Katanya orang Kampung Lama dekat perumahan itu." Jawab yang ditanya. 

"Iya, itu tetanggaku. Katanya ia pemborong. Ga pernah keluar rumah." Sahut yang lain.

"Pemborong apa? Kok ga pernah ngajak aku kerja?" Tanya seorang warga yang berprofesi sebagai tukang batu.

"Mana kamu bisa? Hla dia itu pemborong tulisan!" Jawab si tetangga bakal calon kepala desa itu.

"Pemborong tulisan? Maksudnya juru tulis atau penulis?" Tanya tukang batu penasaran.

"Iya penulis... Membuat tulisan papan nama perusahaan, nama jalan, dan nama sekolah." 

"Ya sudah ga usah dipilih. Nanti kampung jadi tenang seperti kuburan..." Kata si tukang batu ngeloyor pergi diikuti beberapa warga perkampungan yang sebenarnya diundang melihat kampanye bakal calon kepala desa.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun