Aku tak tahu mengapa ia memintaku mencarikan bunga telang warna biru, padahal di halaman banyak anggrek bulan ungu.
Untuk jamu, katanya begitu.
Jamu peredam ngilu yang rasanya seperti teriris sembilu.
Tak tahu di mana kuharus menemukan.
Sepanjang gowes kutengok kiri kanan yang kulihat hanya mangga bergelantungan.
Justru ini yang membuat liurku seperti mau bercucuran.
Dua jam sudah kukayuh sepedaku sepanjang jalan hutan jati yang sepi.
Lutut dan paha sampai terasa letih. Apalagi belum sarapan pagi.
Tapi harus kucari telang biru demi istri.
Di sudut jalan sepi kulihat bunga berwarna ungu sendirian.
Mungkin ini bunga telang seperti yang istriku katakan.
Ingin kupetik tapi yang punya apakah mengijinkan?
Sekali pun yang empunya adalah lelembut hutan yang tidak kelihatan.
Aku pun membaca mantra untuk memetik bunga. Tak ingin yang menjaga marah.
Setangkai bunga pun kupetik karena memang hanya itu yang ada.Â
Berharap istriku merasa senang dengan yang kubawa.
Di depan rumah istriku sudah menunggu sambil menyapu.
Kubuka tas punggungku lalu mengambil bunga warna ungu yang telah layu.
Istriku tersenyum malu ketika menerima bunga itu.
Ah, bentuknya lucu. Katanya begitu.
Iya, seperti bibirmu tak pernah memakai gincu. Jawabku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H