Salah satu sesi peragaan kebaya yang dipentaskan oleh ibu-ibu dari The Kabaya Foundation dalam rangka Kabaya Goes to UNESCO pada pagelaran Jogjakarta Fashion Week 2022 adalah penampilan para peragawati dengan memakai kebaya berbahan kain lurik.
Sebuah kejutan sendiri, sebab selama ini kain lurik jarang terdengar gaungnya dalam peragaan busana. Sekali pun sebenarnya masyarakat sudah mulai mencintai dan menghargai kain lurik sebagai pakaian yang pantas digunakan dalam keseharian.
Ini terbukti semakin banyaknya pengusaha tekstil dan batik, terutama di wilayah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, terutama Klaten dan Magelang yang memproduksi kain lurik. Demikian pula pengusaha garmen banyak yang memproduksi aneka busana dan asesoris berbahan kain lurik. Mulai dari kebaya, baju pria dan wanita, selendang, topi, tas, dan dompet.
Warnanya pun beraneka, ada yang kuning-hitam, hijau-hitam, hijau tua-hijau muda, merah tua-merah maron. Bahkan ada pengusaha yang berani memproduksi dengan menambah gambar bunga dan hewan lokal, sekali pun masih dengan jumlah terbatas sambil menunggu tanggapan konsumen dan pasar.
Kain lurik yang berasal dari kata lorek yang artinya bergaris-garis lurus atas-bawah merupakan kain atau wastra tradisional produksi dan digunakan masyarakat Jawa, khususnya DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Selama ini, lurik tradisional lebih banyak berwarna hitam-abu-abu, coklat tua-coklat muda, dan biru tua dan biru muda. Pemakainya pun terbatas pada para lansia dan pemain kesenian tradisional, seperti penabuh gamelan atau pemain karawitan, pemain jathilan, dan pemain ludruk di Jawa Timur. Lebih menyedihkan dianggap baju para dukun dan paranormal.