Permasalahan etika berkendara selama ini mengarah pada perilaku pemakai jalan di daerah perkotaan. Mulai dari cara mengemudi yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, membuat kemacetan, hingga parkir sembarangan.
Bagi sering bepergian jauh apalagi touring tentu melihat betapa sikap semau gue para pengendara juga terjadi juga di jalan bebas hambatan. Mulai dari mobil pribadi hingga truk yang membawa komoditas tertentu. Termasuk juga bus.
Pelanggaran yang sering terjadi adalah memacu di atas batas maksimum 80 km, Â menyalip dari sebelah kiri, dan berjalan di lajur kanan padahal tidak sedang mendahului kendaraan lain.
Bagaimana dengan etika pengendara di perdesaan?
Keadaan hampir tak jauh berbeda. Bagi pengendara warga perdesaan atau pelosok tersebut, pelanggaran yang sering dilakukan keluar masuk dari halaman rumah, gang, dan melewati persimpangan tanpa menengok kiri kanan atau hanya sedikit memperlambat lajunya.Â
Mereka melakukan hal ini karena menganggap kenal daerah tersebut. Merasa dirinya sebagai orang kampung sini atau okamsi.
Jika terjadi kecelakaan, dianggap sesuatu yang tidak bisa ditolak dan akan diselesaikan secara kekeluargaan. Soal siapa yang salah atau benar sering diabaikan. Â
Hal lain yang sering diabaikan adalah mengangkut atau membawa barang melebihi  dimensi dan angkut. Over dimension and over loud - odol.Â
Kendaraan odol bukan hanya sepeda motor yang mengangkut rumput pakan ternak, batang pohon, tetapi juga pikap dan truk pengangkut hasil bumi.Â
Tak heran jika ada kendaraan lewat jalur alternatif justru sering lebih jauh dan lambat karena terhambat oleh kendaraan odol.
Apakah orang kota yang suka touring di pelosok juga kurang etika dalam berkendara?
Pengalaman penulis saat touring dengan sepeda gunung, motor, dan jeep selama ini melihat gejala seperti ini.
Rupanya orang kota yang jenuh dengan rutinitas pekerjaan berusaha menghibur diri dengan mencari tantangan di pelosok.Â
Keasyikan mencari tantangan kadang lupa atau bisa juga mengabaikan lingkungan sekitar dengan memasuki wilayah pribadi. Misalnya jalan setapak di pinggir kebun dianggap jalan kecil antar pedukuhan.Â
Sehingga ketika dilewati ternyata buntu di halaman rumah penduduk. Masih mending jika terjebak di halaman depan. Lain ceritanya jika terjebak di halaman belakang tempat perigi dengan tempat mencuci dan  mandi setengah terbuka.
Ada juga yang sengaja melewati pematang sempit yang sebenarnya hanya untuk jalan kaki petani. Sehingga pematang menjadi rusak dan licin di musim hujan. Jika motor trail atau MTB terpeleset tentu merusak tanaman dan tentu saja merugikan petani.
Kasus terakhir ini sering dialami secara tak sengaja atau dilakukan sengaja oleh crosser dengan motor trail dan goweser.
Di tempat wisata alam pun hal ini terjadi. Di mana etika berkendara dalam touring sering diabaikan.
Misalnya di daerah kaldera Bromo, jalur antara Candi Ijo dan Tebing Breksi, dan Parang Kusumo Yogyakarta, wilayah antara Malang, Batu, dan Mojokerto sekitar Brakseng, Cangar, dan Pacet. Jalur Sarangan Magetan dan Tawangmangu Karanganyar. Hutan jati Guwosari, Bantul.
Maka tak heran, di beberapa titik kadang ada banner dan papan tulisan berisi himbauan agar para sepeda motor dan mobil touring tidak masuk daerah tertentu yang bisa merusak alam dan lingkungan.Â
Bahkan ada tulisan dengan pesan yang cukup kasar sebagai tanda kejengkelan masyarakat setempat pada pengendara.
Hal ini perlu disadari siapa pun untuk tetap beretika dalam berkendara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H