Di mana bumi diinjak di situ langit dijunjung. Di mana pun kita tinggal harus menyesuaikan dengan adat istiadat setempat. Hidup pun aman, tentram, dan damai.
Termasuk juga dalam pergaulan dengan tetangga.Â
Ada tetangga seperti Arjuna dan Dasamuka, Betari Durga dan Banowati, Sengkuni dan Durna, ada juga yang seperti Kresna yang alim tapi suka menipu.
Apa dan bagaimana pun sifat tetangga harus diterima dengan lapang dada.Â
Pepatah Jawa mengatakan, ora gelem tetanggan uripa ndik alas. Artinya, jika tak mau bertetangga hiduplah di hutan. Jangankan di hutan yang sepi. Di pinggir desa dekat tepi hutan saja bisa seperti hidup di penjara seumur hidup.
Inilah yang saya rasakan saat dua bulan tinggal di pedalaman DIY.Â
Adoh lor adoh kidul. Jauh dari mana pun. Jarak rumah tetangga paling tidak lima puluh meter dan terhalang hutan jati atau kebun yang luas. Itu pun ada beberapa rumah yang kosong dan rusak karena anak cucunya telah hidup di kota.
Pagi siang sepi karena banyak yang meninggalkan rumah untuk bekerja. Sehingga harus menghibur diri bermain dengan ayam peliharaan. Setelah itu gowes mengikuti kata hati.Â
Sore malam tambah sepi karena para tetangga istirahat dan sibuk dengan keluarganya. Saya pun menghibur diri hanya dengan berkompasiana. Jatah pulsa data pun membengkak. Jika di Malang pakai wifi maka di Bantul harus pakai pulsa data dengan sinyal yang sering menari lenso. Â
Syukurlah, para tetangga yang jaraknya cukup berjauhan ternyata masih perhatian.Â
Senyum simpul selalu terkembang dalam saling sapa bila bertemu.Â
Lebih dari itu kadang diundang makan bersama sebagai seorang saudara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H