Kaget dengan jawaban saya, dia langsung berkata: Begini Pak, kami kuatir ada penyusup.
Jawaban saya kembali tegas: Kalau saya penyusup tentu tidak memakai pakaian mencolok seperti ini. Mudah ketahuan. Kamu bertanya ini kan disuruh aparat itu toh? Nih kartu identitas saya.
Jawaban saya ternyata membuat dia kaget demikian juga temannya. Lalu mereka mengatup kedua tangannya bergaya namaste dan merunduk-runduk minta maaf dan ngeloyor kembali ke para demonstran.
Mata elang tetap bekerja. Sekali pun saya memencet tombol hape tetap melirik sana-sini bahwa sedang diperhatikan aparat keamanan.
Kesempatan membuat mereka penasaran, saya mendekati beberapa demonstran yang memegang bendera komunitas untuk akting lalu saya foto. Kemudian masuk dan duduk di berem taman di antara aparat berpakaian preman yang terus mengawasi.Â
Sedikit tanpa mempedulikan mereka, saya melanjutkan menulis.
Ketika orasi di halaman depan DPRD DIY selesai dan para demonstran berarak menuju salah satu kantor ojek online, saya duduk di bangku yang ada di trotoar Malioboro untuk melanjutkan menulis.
Di sinilah mulai tampak kurangnya profesionalisnya aparat tidak berseragam. Mungkin juga hanya informan.Â
Ketika sedang asyik menulis tetiba seorang di antara mereka, duduk di sebelah saya. Padahal di kursi tersebut tertulis: Mboten Pareng Lenggah Mriki. Tidak boleh duduk di sini.Â
Dua orang lagi berdiri berbincang hanya sejengkal di belakang saya.Â