Arie Shanti, seorang designer senior kebaya yang telah melakukan penelitian dan akan menerbitkan buku tentang sejarah kebaya juga mengajak kaum perempuan agar kebaya bisa menjadi pakaian sehari-hari.
Tanda cinta dengan mengenakan sehari-hari tentu akan mendukung tercapainya mendapat pengakuan UNESCO dan terhindar dari pengakuan milik negara jiran, Malaysia.
Malaysia, sebagai saudara serumpun memang berusaha mendapat pengakuan UNESCO bahwa kebaya adalah warisan nenek moyang mereka. Walau jika dilihat dari sejarah  asal-usul kebaya, negeri kita lebih dikenal tetapi masyarakat Malaysia justru lebih banyak menggunakan dalam keseharian.
Lebih jauh, Ibu Tuti W dan Mbak Arie Shanti mengatakan bahwa kebaya merupakan tanda feminimtas dan keanggunan seorang wanita. Jauhkan pikiran bahwa kebaya hanya menonjolkan kemolekan atau kemontogan seorang wanita. Ini bisa dilihat ke arah belakang seperti kebaya yang dikenakan oleh R.A Kartini yang berarti juga digunakan wanita pada saat itu.
Penulis, dalam diwawancara sebentar saat jeda peragaan busana, sedikit menambahkan bahwa kebaya pada masa lalu memang sangat sederhana. Menilik dari Kitab Pararaton, bahwa kebaya sudah dipakai oleh Ken Dedes. Demikian juga yang dikisahkan dalam kitab-kitab Jawa kuno melalui cerita Ande-ande Lumut, Jaka Tarub dan Nawang Wulan, kebaya saat itu hanya berbentuk seperti kain panjang yang diselempangkan dari leher ke depan menutup punggung bagian atas serta dada. Kala itu wanita belum menggunakan kotang sebagai penutup atau pelindung payudara. Ini bukanlah sesuatu yang vulgar sebab payudara merupakan lambang kesuburan wanita untuk memberi kehidupan bagi manusia.
Untuk penutup tubuh bagian bawah dada perempuan pada masa lalu hanya menggunakan jarit. Perkembangan selanjutnya, jarit menutup payudara namun di kalangan keraton atau bangsawan untuk menutup payudara menggunakan kain panjang yang lebih pendek atau disebut kemben.