Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebaya Goes to UNESCO

31 Agustus 2022   06:30 Diperbarui: 1 September 2022   05:00 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebaya Foundation Jogjakarta | Dokumen pribadi 

Kebaya, pakaian tradisional Jawa yang merupakan salah satu bagian busana Nusantara merupakan peninggalan nenek moyang yang begitu indah.
Kebaya pada awalnya memang modelnya memang tidak seperti saat ini yang lebih dipengaruhi oleh kebaya yang dikenakan oleh R.A Kartini dan hanya dikenakan oleh kaum bangsawan atau lingkungan keraton.
Seturut perkembangan jaman kebaya terus mengikuti mode namun tetap terpengaruh pada model klasik Solo dan Jogja. 

Ibu Tuti W tampil anggun dan feminim saat memberi sambutan pembuka. | Dokumen pribadi 
Ibu Tuti W tampil anggun dan feminim saat memberi sambutan pembuka. | Dokumen pribadi 

Mbak Arie Shanti (kanan) saat didaulat menjelaskan tentang sejarah kebaya. | Dokumen pribadi
Mbak Arie Shanti (kanan) saat didaulat menjelaskan tentang sejarah kebaya. | Dokumen pribadi

Kebaya dengan celana kasual. | Dokumen pribadi 
Kebaya dengan celana kasual. | Dokumen pribadi 

Kebaya modern bergaya Solo. | Dokumen pribadi.
Kebaya modern bergaya Solo. | Dokumen pribadi.

Pada ada masa lalu kebaya selalu dikenakan dengan kain panjang atau jarit. Masa kini bisa dikenakan dengan bawahan rock, celana panjang termasuk kasual atau jean bahkan agak sedikit beda juga dengan kullot.

Sebagai busana atau wastra warisan leluhur yang seharusnya dijaga dan dicintai ternyata kebaya semakin ditinggalkan. Kebaya hanya dipakai pada saat acara formil seperti pesta pernikahan, wisuda, atau hanya saat peringatan Hari Kartini. Beberapa alasan enggan memakai kebaya di antaranya ribet dan tidak sederhana dan menggunakan bahan yang mahal.
Terpanggil untuk menjaga dan melestarikan kebaya sebagai wastra indah warisan leluhur Nusantara, Kebaya Foundation Jogjakarta sedang berupaya mendapat pengakuan dunia dari UNESCO. Upaya ini dilakukan dengan cara mengajak kaum wanita tua muda untuk menggunakan kebaya dalam kehidupan sehari-hari. Ajakan ini disampaikan oleh Ibu Tuti W, wakil ketua Kebaya Foundation saat membuka acara peragaan busana kebaya pada pagelaran Jogja Fashion Week 2022 di JEC - Jogjakarta Expo Center.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Arie Shanti, seorang designer senior kebaya yang telah melakukan penelitian dan akan menerbitkan buku tentang sejarah kebaya juga mengajak kaum perempuan agar kebaya bisa menjadi pakaian sehari-hari.

Tanda cinta dengan mengenakan sehari-hari tentu akan mendukung tercapainya mendapat pengakuan UNESCO dan terhindar dari pengakuan milik negara jiran, Malaysia.
Malaysia, sebagai saudara serumpun memang berusaha mendapat pengakuan UNESCO bahwa kebaya adalah warisan nenek moyang mereka. Walau jika dilihat dari sejarah  asal-usul kebaya, negeri kita lebih dikenal tetapi masyarakat Malaysia justru lebih banyak menggunakan dalam keseharian.
Lebih jauh, Ibu Tuti W dan Mbak Arie Shanti mengatakan bahwa kebaya merupakan tanda feminimtas dan keanggunan seorang wanita. Jauhkan pikiran bahwa kebaya hanya menonjolkan kemolekan atau kemontogan seorang wanita. Ini bisa dilihat ke arah belakang seperti kebaya yang dikenakan oleh R.A Kartini yang berarti juga digunakan wanita pada saat itu.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Saat menjelaskan cara memadukan kebaya dan jarit. | Dokumen pribadi
Saat menjelaskan cara memadukan kebaya dan jarit. | Dokumen pribadi

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Penulis, dalam diwawancara sebentar saat jeda peragaan busana, sedikit menambahkan bahwa kebaya pada masa lalu memang sangat sederhana. Menilik dari Kitab Pararaton, bahwa kebaya sudah dipakai oleh Ken Dedes. Demikian juga yang dikisahkan dalam kitab-kitab Jawa kuno melalui cerita Ande-ande Lumut, Jaka Tarub dan Nawang Wulan, kebaya saat itu hanya berbentuk seperti kain panjang yang diselempangkan dari leher ke depan menutup punggung bagian atas serta dada. Kala itu wanita belum menggunakan kotang sebagai penutup atau pelindung payudara. Ini bukanlah sesuatu yang vulgar sebab payudara merupakan lambang kesuburan wanita untuk memberi kehidupan bagi manusia.

Untuk penutup tubuh bagian bawah dada perempuan pada masa lalu hanya menggunakan jarit. Perkembangan selanjutnya, jarit menutup payudara namun di kalangan keraton atau bangsawan untuk menutup payudara menggunakan kain panjang yang lebih pendek atau disebut kemben.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.

Peragaan busana kebaya sangat menarik perhatian pengunjung Jogja Fashion Week 2022 bukan sekedar karena melihat keanggunan dan keluwesan kaum sosialita saat melenggang dengan iringan lagu-lagu keroncong tetapi juga mendukung sepenuhnya Kebaya Goes to UNESCO.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun