Pada masa kini menjumpai pedagang kerupuk keliling dengan naik sepeda motor atau sepeda pancal adalah hal biasa. Para penjual ada yang membawa dengan wadah kantong plastik besar dengan diameter 1 m lalu ditaruh pada keranjang bambu di kiri kanan sepeda motornya. Jika menggunakan sepeda pancal hanya pada salah satu sisi saja. Sebab sekali pun kerupuk termasuk makanan ringan jika jumlahnya banyak lumayan berat juga. Apalagi jika ada terpaan angin.
Biasanya pedagang kerupuk yang membawa keranjang adalah kaum pria. Sedang kaum wanita yang berdagang kerupuk biasanya membawa yang sudah dibungkus plastik. Setiap bungkus bobotnya antara 100-150 gram dengan harga antara 5.000-10.000 rupiah.
Pada dekade 50-80 an pedagang kerupuk keliling biasanya menggunakan blek silinder dari seng dengan garis tengah 90-100 cm dan ketinggian 80-110 cm.
Sungguh mengejutkan, setelah keliling Taman Sari Kraton Jogja saya menjumpai pedagang kerupuk keliling menggunakan blek besar ini di daerah Panggung Krapyak.
Tertarik hal yang cukup unik dan langka saya pun mengajak bicara si penjual kerupuk tersebut.
Sebut saja panggilannya Kang Jajang berasal dari Cimahi, Jawa Barat. Menurut penuturannya, telah berjualan kerupuk keliling di Jogja sejak 2002. Sebelumnya ia berjualan masakan mi di Bandung selama 4 tahun.
Karena kurang laku, ia pun merantau bersama temannya ke Jogja sebagai penjual kerupuk.
Kerupuk ini bukanlah buatannya sendiri, tetapi ia hanya menjajakan milik seorang juragan kerupuk yang juga sedaerah asal.
Mengapa ia tidak berdagang keliling dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor?
Setiap hari ia harus berjalan sejauh 8-12 km dari kampung ke kampung dari gang sempit hingga jalan raya selebar 8 m seperti daerah Krapyak.Â
Jika menggunakan sepeda atau sepeda motor terlalu makan jalan dan bisa mengganggu arus lalu lintas di gang sempit. Menggunakan blek dengan pikulan bila berpapasan dengan kendaraan maka ia secara langsung bisa minggir. Sehingga arus lalulintas tetap cukup lancar.
Selain itu, jarak warung dan toko yang menjadi langganan untuk dititipi kerupuk tidak terlalu berjauhan. Rerata berjarak 25 m saja.Â
Keuntungan lainnya pada saat musim hujan kerupuknya bebas terpaan atau tetesan air hujan sehingga tidak melempem.
Menurut Kang Jajang, sepengetahuannya hanya dua orang saja yang berjalan kerupuk dengan cara seperti ini. Dia sendiri dan temannya.
Setiap hari, Kang Jajang melayani sekitar 30 warung dari sekitar 100 warung langganannya yang dilayani selama seminggu.Â
Ada yang dititipi dengan blek kecil ada pula yang dititipi berupa bungkusan.Â
Satu blek kecil berisi 40 buah kerupuk seharga 20 ribu rupiah dengan tambahan 3 buah. Artinya, setiap kerupuk harganya 500 rupiah. Pemilik warung biasanya menjual seharga 750 atau 1000 rupiah. Padahal Kang Jajang kulakan seharga 400 rupiah per buah.
Setiap warung atau toko rerata bisa menjual satu blek selama 5-6 hari.Â
Untuk kerupuk dalam bungkusan berisi 11 buah dengan harga 5 ribu rupiah. Pedagang makanan atau warung yang dititipi menjual antara 6-7,5 ribu rupiah. Sedang Kang Jajang sendiri kulakan seharga 4,5 ribu per bungkus.Â
Selain menitipkan pada warung, Kang Jajang juga menjual pada siapa saja termasuk pada wisatawan di Alun-alun Kidul. Juga pada anak kos, ibu-ibu yang sedang belanja. Bahkan pada karyawati toko yang sedang bertugas.Â
"Kalau tidak berani menawarkan sulit mendapat langganan," katanya sambil melayani seorang cewek cantik yang tertarik pada kerupuk puli.Â
Saya yang tertarik pada semangat perjuangannya sebagai pedagang kerupuk yang sederhana, ikut juga membeli satu bungkus.Â
Ya hanya satu bungkus karena sedang sakit gigi. Bukan pelit.
***
#Kisah ke 5 touring Jawa Timur, Tengah, dan Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H