Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Sapa dan Salam dalam Budaya Jawa

17 Mei 2022   17:34 Diperbarui: 18 Mei 2022   06:03 27259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya Jawa bukan hanya milik kaum tua. | Dokumen pribadi 

"Oo..., Nak Ukik. Sami rahayu...?"

Itulah sapaan ketika saya bertemu seseorang yang pantas memanggil saya sebagai seorang anak.
Saya pun menjawab:
" Pangestunipun..."
Kemudian kami berjabatan tangan sambil saling sedikit membungkukkan badan tanda saling menghormati.

Demikian juga bila saya bertemu dengan seseorang yang saya kenal apalagi kerabat dan lama tak berjumpa, saya akan menyapa:
"Bu...(Pak), sami wilujeng?"
Mereka pun menjawab:
"Pangestunipun..."
Setelah saling sapa kemudian kami saling sedikit membungkuk badan dan saling berpamitan dengan mengucapkan:  "Mangga..." Artinya: mari....

Sapaan sami rahayu dan sami wilujeng mempunyai arti yang sama 'apa kabar'. Lebih dari itu sapaan ini bukan sekedar basa-basi tetapi berharap keadaan kita selalu sehat sejahtera setelah sekian lama tidak berjumpa.

Jawaban 'pangestunipun' mempunyai makna 'terimakasih kami atas doanya kami sehat selalu'.

Sapa dan salam seperti ini sudah jarang terlihat apalagi dilakukan di masyarakat umum sekali pun pada masyarakat yang mayoritas warganya orang Jawa yang seharusnya menjunjung tinggi budaya Jawa.

Apakah para orangtua dan para sepuh tidak pernah memberi teladan?
Pergaulan sekarang lebih luas dengan masyarakat yang heterogen, suatu wilayah bukan hanya dihuni oleh masyarakat tertentu. Bisa juga karena pengaruh budaya luar ketika harus mengembara atau bekerja di tempat lain sehingga lupa budaya sendiri.

Diskusi budaya Jawa | Dokumen pribadi 
Diskusi budaya Jawa | Dokumen pribadi 

Pada masa kini, yang sering terlihat sapaan dan salam seperti:
" Pak...(atau Bu, Mbah, Pakdhe, Paklik), mangga..." 

Sambil tersenyum dengan sedikit menundukkan kepala bukan menundukkan badan lagi.

Lebih parah lagi yang ketemu seorang kakek atau nenek lalu dengan santai menyapa:
"Halo Mbah... Mangga Mbah..." Lalu ngeloyor pergi.
Simbah yang disapa hanya terbengong-bengong. Mungkin di hatinya berkata: "Duh Gusti nyuwun agungipun pangeksami kagem para putra putri kula..."
Ya Tuhan, ampunilah kesalahan putra putri kami...

Apakah sapaan dan salam seperti hanya ada pada komunitas budaya dan Kepercayaan pada Allah yang Satu dan Tunggal.

0 0 0

Rahayu... rahayu... rahayu...
sagung dumadi kalis ing rubeda nir ing sambikala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun