Tak ayal beberapa penonton mulai tertarik lalu menyodorkan tangannya untuk dilihat nasibnya dan penyakitnya.
Hanya berjarak sekitar 6 meter saja di sebelah kirinya ada juga seorang penjual ramuan dari tumbuhan tertentu.
Penampilannya juga sederhana tetapi lebih daddy. Suaranya tak kalah lantang tetapi ia menggunakan mikrofon nirkabel.
Barangkali penampilannya yang tak terlalu unik sekalipun ia juga memasang banner dan membeber beberapa peraga seperti kalung dan gelang manik-manik yang juga disebut mempunyai khasiat menyembuhkan, toh belum menarik orang untuk menonton.
Penjual semacam ini sering dijumpai di keramaian daerah urban yang padat. Seperti Pasar Atom, Jembatan Merah, dan Wonokromo Surabaya. Pasar dan Terminal Senen, Jakarta.Â
Seperti para sales dan marketing yang harus piawai merangkai kata-kata mengenalkan dan menawarkan barang dan sebuah produk pada calon pembeli, demikian juga para penjual ramuan ini.
Urip kudu ubet. Ora ubet ora ngliwet. Nanging aja gawe mumet.
Hidup harus terus berusaha. Tidak berusaha tidak akan bisa menanak nasi. Namun jangan sampai membuat orang lain kecewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H