Merasa gaji hanya pas-pasan. Pas untuk makan dan minum. Pas untuk beli pakaian. Pas untuk kredit sepeda motor. Kurang pas untuk kredit malah beli rumah sehingga mau melamar kekasih harus maju mundur.
Saya pun merangkap mengajar di dua sekolah di dua kota. Ternyata sangat menguras tenaga.
Pengalaman bertani bersama orangtua maka memutuskan juga menjadi petani.
Hidup petani selalu di bawah bayang-bayang pengusaha besar dan kartel. Harga selalu diombang-ambingkan mereka. Pendapatan pun juga pas-pasan.
Lalu profesi tambah lagi jadi penari di hotel-hotel bintang satu di Malang dan Surabaya. Honor lumayan. Tapi tampil belum tentu sebulan sekali.
Banyak kenalan di hotel dan suka moto, lalu mendirikan wedding organizer dan tukang poto. Perkembangan teknologi demikian pesat dan harga DSLR melambung. Wedding organizer kolap.
Pengalaman begitu banyak bisa dijadikan sebuah tulisan. Jadilah penulis amatir. Posting di Kompasiana dan jadi CC. Ternyata jumlah K-reward dan monetasi CC tak berbanding lurus dengan pulsa dan listrik yang dikeluarkan.
Ternyata jadi guru paling nyaman walau sering dipandang sebelah mata. Apalagi oleh orangtua yang merasa dirinya hebat dan bergaya bossy.
Dilabrak orangtua bukan satu dua kali gegara anak suka menggoda guru dan orangtuanya. Ketika siswa kutanya mengapa berbohong sehingga orangtua kesal, dengan enteng menjawab, 'iseng saja karena papa suka marah kalo nilaiku jelek'Â
Menghadapi orangtua semacam ini harus sabar seperti menghadapi siswa-siswi yang unik. Tak perlu takut, grogi, atau ikut marah. Biarkan mereka marah habis-habisan. Mungkin mereka belum tahu cara berkomunikasi yang baik dan benar.
Beberapa orang semacam ini pernah kubiarkan meluapkan kekecewaan, kekesalan, dan kemarahannya sampai habis.
Ketika sudah selesai cukup saya jawab,"Terimakasih bapak-ibu sudah menyampaikan kekurangan saya ..."
Lalu mereka pun pergi dengan hati mendongkol seperti yang terlihat dari tatapan mata dan bahasa tubuh. Tapi tetap saya antar sampai gerbang sekolah dengan penuh senyum. Walau dalam hati terkekeh.
Lebih terkekeh lagi melihat putranya yang tersenyum sambil berkata lirih, "Papa marah ya Pak ... Biarin saja." Saya tahu si anak sedang mengerjain orangtuanya yang kurang rukun. Sialnya saya dijadikan alat.
Jangan dikira anak tidak pernah mengerjai orangtua yang dianggapnya hanya mencari karir uang.
Satu dua kali, sepulang sekolah ada anak putri yang tinggal di asrama dengan sengaja 'mencuri coklat atau permen' lalu dimasukkan saku secara terbuka biar keliatan lalu ditangkap satpam mall.
Sekolah pun kelabakan setelah dihubungi pihak keamanan mall.
Sebagai guru yang mudah bergaul saya selalu menjadi garda di depan jika siswa berulah seperti ini.
Siswa memang unik termasuk saat melampiaskan kekesalan, kejenuhan, dan kebosanan. Banyak ulah yang kadang membuat guru tersenyum sambil mengelus dada dan berkata dalam hati "Kamu anak siapa ta..."
Ketika orangtuanya mengetahui putra-putrinya seperti ini, ada yang berkata, "Siapa to yang mengajar..."
Tiap pribadi memang unik, seperti juga para siswa. Seperti juga para guru.
Sekelumit kisah. Hebatnya jadi guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H