Hari pertama Ramadhan, sawah pun sepi dari kegiatan petani sekali pun masih banyak tanaman yang seharusnya dipanen atau lahan yang harus digarap, namun kegiatan tradisional seperti megengan dan gotongroyong membersihkan masjid, langgar, dan surau pada hari sebelumnya membuat para petani dan pedagang sayur kecil enggan ke sawah dan menunda esok harinya.Â
Demikian juga keluarga kami memilih untuk tidak mencari atau kulakan sayur dan sejenisnya. Kesempatan ini pula, saya dan istri menggunakan kesempatan hari senggang ini jalan-jalan dengan gowesria ke arah barat Malang, Batu dan Pujon. Tepatnya tempat wisata air terjun Coban Rondo.Â
Jaraknya tak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar 30km saja. Namun ketinggian wilayah tempat tinggal menurut google map hanya 452 mdpl menuju Coban Rondo dengan ketinggian sekitar 1500 mdpl merupakan tantangan yang cukup lumayan.
Pinggiran Kota Batu juga sepi, padahal aktivitas petani dan pedagang sayur selalu mendominasi jalanan. Hanya beberapa pencari rumput untuk pakan ternak yang masih tampak mondar-mandir.Â
Memasuki wilayah perbukitan Gunung Banyak dan Pandermanm daerah wisata alam yang berkelok-kelok tajam dan menanjak dan jalannya hampir setiap hari ramai bahkan macet, kini cukup sepi.Â
Inilah yang membuat kami berdua semakin bersemangat karena sedikit terbebas dari polusi asap kendaraan bermotor sekali pun ini merupakan wilayah hutan pinus yang cukup lebat dan suasananya segar.
Di sisi lain, dengan sepinya kendaraan kami juga was-was ada kendaraan yang melaju dengan cepat tanpa memperhatikan keadaan lalu menyenggol kami. Demi keselamatan, kami tetap berjalan di garis marka pinggir jalan atau jika tidak memungkinan paling jauh sekitar 30-40 cm di kanan marka pinggir.
Mulai dari Gerbang Coban Rondo inilah petualangan jelajah hutan pinus yang hanya sepanjang 3 km kami awali dengan melewati jalan setapak yang licin dan tertutup tingginya rumput gajah.
Satu kilometer selanjutnya kembali ke jalan aspal untuk memasuki sekitar air terjun Coban Rondo. Jalur kembali naik turun tajam, sehingga pada tanjakan terakhir yang sebenarnya tak terlalu tinggi tapi lutut kami sudah tak begitu kuat.
Cuaca rupanya kurang mendukung untuk mengabadikan gambar dengan DSLR karena gerimis deras mulai turun apalagi disertai angin yang menghembuskan percikan-percikan lembut curahan dan hempasan air tejun yang sangat deras.Â
Niat bermain air pun kami batalkan karena kuatir ada kerikil, batu, bongkahan cadas atau dahan lapuk yang jatuh dari tebing atas setinggi sekitar 80m karena hujan atau angin.Â
Hanya 15 menit kami menikmati indahnya Coban Rondo hujan deras mendera. Pulang adalah pilihan terbaik. Tak ada seorang pun selain kami berdua. Namun tekad mencari tantangan tetap harus dijalani. Kembali menuju gerbang masuk melewati setapak yang licin dan cukup gelap. Sempat salah jalan dan tertutup pinus yang roboh pada akhirnya bisa juga keluar dan segera membeli wedang jae untuk menghangatkan tubuh supaya kuat dan segar.Â
Jam dua sore kami meninggalkan warung di atas Songgoriti dan sampai di rumah jam 15.15 Berangkat mengayuh selama tiga setengah jam, pulang mengayuh tak lebih dari 30 menit. Sisanya tinggal gelundung saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H