Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Street Photography] Geliat Pengais Rezeki di Trotoar

16 Maret 2021   16:30 Diperbarui: 16 Maret 2021   18:42 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan yang turun hampir setiap pagi hingga sore hari selama empat hari ini membuat enggan pergi menyusuri persawahan. Maka pagi hingga siang ini, kami kembali menyusuri pusat kota bergowesria dan tentu saja sambil menjalankan hobi memotret dengan memakai hape. 

Waktu masih menunjukkan jam 9.15 ketika kami sudah sampai di wilayah Pasar Besar Malang atau yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Pecinan, sekali pun warganya bukan hanya warga keturunan Tionghwa. Bahkan hingga awal tahun 80an masih ada juga pedagang dari keturunan Arab dan India. Kini mereka sudah tidak ada lagi. Kalah bersaing?

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
dokumen pribadi
dokumen pribadi
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Setelah memarkir sepeda di salah satu mal, kami berjalan kaki menyusuri  trotoar tempat dimana banyak pedagang K5 menggelar dagangannya sedemikian rupa di depan etalase toko-toko besar. 

Ada yang berjualan kue basah, roti, pakaian dalam dan pakaian wanita, arloji dan kacamata, kaos kaki dan asesoris, serta pakaian anak-anak. Semua adalah barang KW2 hingga KW4. Harga mulai dari 10 ribu 3, 20 ribu 3, hingga 50 ribu tiga. 

Di depan sebuah toko, saya berdiri di samping seorang penjual roti KW1 yang menembak merek tertentu dengan harga 10 ribu 3.  Sambil mengamati dan memotret setiap kegiatan mereka yang terus bergerak mencari nafkah saya berbincang dengan penjual roti dan pedagang emas eceran alias pedagang yang mau membeli emas perhiasan yang rusak dan tanpa surat bukti pembelian. Harga sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pedagang.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
"Ini roti retur dibungkus baru atau memang roti baru tapi KW, Bu..." 

"Asli baru tapi ya asli tembakan Mas," jawab si penjual yang telah berjualan di sini selama sembilan tahun. Mendengar percakapan saya dengan si penjual apalagi saya memotretnya, si pengirim (sales) langsung menutup kepalanya dengan topi jaketnya. Setelah si penjual membayar tunai, si sales pun segera pergi. 

"Kok bayar tunai kalau gak laku bagaimana, Bu?"

"Kalau hanya lima puluh buah roti saja habis Mas. Nanti siang kalau habis, saya minta kirim lagi. Tapi kalau habisnya sudah sore yang enggak." Jawab si penjual sambil melayani dua orang pembeli. Sehari rerata ia mendapat keuntungan antara 30-40 ribu dari kulakan seharga 2.500 perbuah dijual 10 ribu 3. 

"Setiap hari bayar berapa untuk retribusi?" tanya saya pada seorang pedagang lainnya yang baru saja membeber dagangannya.

"Gratis, Mas. Kan sebenarnya gak boleh jualan di sini. Tapi kalau ada yang minta sumbangan keamanan ya diberi sesukanya."

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Foto dokumen pribadi
Foto dokumen pribadi
Siapa yang dimaksud dengan 'yang minta sumbangan' itu? Petugas penertiban, preman, pengurus wilayah setempat atau penjaga keamanan setempat?

Beberapa kali, kala malam hari saya sering mengintip dari jauh adanya seseorang yang meminta sangu kepada petugas parkir yang selalu bertugas tanpa memberi karcis retribusi kepada pemakai sepeda motor dan mobil yang memarkir kendaraannya. 

Sekitar tiga jam saya keliling menikmati geliat para pedagang K5 yang berusaha mengais rejeki dari pejalan kaki yang akan berbelanja di toko-toko besar. 

Mendekati jam 12 siang tiba-tiba saja hujan turun dengan lebat. Dengan cekatan para pedagang K5 segera mengemasi dagangannya dengan sekali tarik tanpa perlu menatanya. Sebab mereka akan menata kembali justru pada saat akan menggelar dagangannya kembali. Petugas parkir pun sibuk menata helm para pengendara sepeda motor yang memarkirkan di situ.

Hujan makin deras, kami pun masuk ke sebuah mal yang pada awal dan pertengahan 80an merupakan pusat pertokoan tempat belanja kaum menengah namun kini berubah menjadi tempat penjualan barang-barang tiruan. Mulai dari pakaian bayi, anak-anak, arloji, kacamata, asesoris pakaian wanita, hingga sepatu dan hape bekas. 

Sepinya pengunjung, apalagi pembeli di masa pandemi ini dan ditambah hujan semakin deras membuat beberapa penjaga stand merasa bosan dan tertidur. Seperti seorang pedagang emas eceran yang tertidur di kursi depan sebuah toko.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Tertidur. Dokumen pribadi.
Tertidur. Dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun