Duh Eyang Ibu Bumi Ya Eyang Sriwidayaningrat, kawula ngaturaken sungkem. Sedaya kalepatan kawula ingkang sampun kalempahan, kawula nyuwun pangeksami ingkang agung. Ingkang dereng kalempahan kawula naming sadermi. Kawula ngaturaken agunging panuwun awit paring pagesangan paduka.Mugi-mugi kula saged meningi kang nata kawula, Nungsa Mulya Tiyasa sakturun-turun kawula sedaya. (1)
Selesai mengucapkan doa, Dewi Sekartaji yang telah berganti pakaian ala gadis desa lalu memasukkan cundrik di setagen pengikat jaritnya. Lalu tidur pulas di antara para inang yang setia menemaninya.
Sembilan purnama dalam pengembaraannya yang kadang menjadi petani, kadang menjadi penari tanpa diketahui oleh rakyatnya, Panji Asmarabangun merasa bahagia karena hampir seluruh masyarakat hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan dan tetap berharap Jenggala dan Kadhiri tetap menyatu. Kini, ia ingin kembali ke keraton menemui isteri tercintanya Dewi Sekartaji yang ditinggalkan tanpa pamit. Â
Saat istirahat selesai menggarap sawahnya, beberapa wanita pengamen datang menemuinya untuk minta istirahat di gubuknya. Salah satu wanita begitu memikat penampilan dan gerak-geriknya yang gemulai serta tutur katanya yang halus. Si wanita cantik ini lalu melantunkan sebuah tembang yang membuat Panji Asmarabangun terpana.
        Goleka sing kaya ngapa wong nyatane kelakon seprene
       (sekali pun mencari yang bagaimana pun toh ternyata terjalin hingga kini)
       Saben-saben gandrung wekasane malah mbangun tresna
       (Setiap kali jatuh cinta pada akhirnya malah membangun kasih)
       Dudu banda dudu rupa mung atine dadi tetaline
       (bukan harta bukan wajah hanya hati yang jadi pengikat)