Jam masih menunjukkan angka sempuluh ketika kami sampai di sebuah telaga kecil pinggiran kota Malang yang hanya berjarak sekitar lima kilometer dari rumah. Sebuah telaga yang dulu berada di tengah sawah pinggir pedesaan justru kini berada di antara perkampungan dan perumahan kecil masa kini.
Sambil duduk menikmati segarnya suasana dan heningnya suasana diiringi gemerciknya riak-riak kecil dari telaga yang mengalir lembut di antara bebatuan kecil yang bersautan dengan deritan bambu kami menghibur diri dengan memberi makan ikan-ikan yang mendekati kami.
Tak seberapa lama ada delapan anak, 5 putra dan 3 putri seusia datang dari perkampungan sebelah untuk bermain dan mandi di telaga ini. Keceriaan dan kebahagiaan tampak terpancar dari wajah-wajah lugu mereka menikmati masa-masa indah bersama teman sebaya. Bukan hanya dengan teman mereka merasakan kebahagiaan ini, tetapi juga bersama alam yang akan menemani dan membentuk mereka.Â
Celoteh dan tawa riang serta kadang saling teriak menggoda satu sama lain atas keberanian dan ketrampilan mereka berenang di telaga sunyi ini. Berenang ke sana kemari lalu minggir dan terjun lagi terus berulang. Kala capai, mereka hanya bermain ciblon atau memukul permukaan air dengan gaya tertentu sehingga seperti tetabuhan irama gambus yang kini sudah jarang lagi terdengar. Satu bait irama selama satu menit sudah membuat lengan penat lalu berenang lagi dengan tawa riang.
"Kok sudah pulang sekolah?"
"Iya, Pakdhe. Disuruh belajar di rumah karena ada corona," jawab salah satu dari mereka.
"Pake hape?"
"Iya tapi di rumahnya ini," jawab salah satunya lagi sambil menunjuk seorang temannya.
"Satu hape untuk berapa orang?"
"Kadang dua orang kadang empat orang."