Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala Kita Diabaikan dan Dicurigai

4 Juni 2020   20:04 Diperbarui: 4 Juni 2020   20:18 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalau apes tengah laut pun kapal mogok. Dokpri

Sial atau apes hampir setiap orang pernah mengalaminya. Bentuknya berbagai macam mulia dari terpeleset plastik basah, kehilangan uang, terantuk jalan rata, ditipu orang, ditinggal orang kesayangan tanpa terduga, sampai tertimpa pohon tumbang. 

Berat ringannya tergantung ketangguhan mereka yang mengalami. Ada saja yang tertusuk peniti dan keluar setitik darah lalu teriak-teriak ketakutan melihat darah. Tapi ada juga yang merasa biasa saja ketika mobil yang dikemudikan terperosok ke parit padahal kepalanya benjol.

Ada juga yang mengalami kesialan yang berurutan dalam waktu yang berdekatan dan kita merasa lemah tak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan orang lain namun di sekitar kita tidak ada orang. Sialnya, kala ada orang datang dan tahu kita membutuhkan pertolongan justru mereka sekedar lewat. Mengabaikan kita.  

Padahal selama menunggu orang datang untuk menolong kita berdoa pada Tuhan Allah kita agar mengirim penolong. Nyatanya kala ada yang datang hanya melirik saja dan mengatakan maaf saya, maaf kami tidak bisa menolong.

Jika mengalami keadaan seperti ini, kadang terlintas dalam hati apa dosa kita. Lalu mencoba mengorek-orek masa lalu kita. Serta menganggap peristiwa ini sebagai hukuman atau karma yang harus kita alami. Mungkin juga akan mengumpat-umpat dalam hati mereka yang mengabaikan kita.  Bahkan mungkin juga ada yang menganggap ini sebagai cobaan yang diberikan Tuhan pada kita.  Ah, mengapa kita harus demikian?

Kalau apes tengah laut pun kapal mogok. Dokpri
Kalau apes tengah laut pun kapal mogok. Dokpri
Tahun 2013, saat melintasi kaldera Bromo pada senja hari tiba-tiba saja sepeda motor saya tak mau berputar rodanya kala berada di tanjakan hingga harus menuntunnya hingga ke tepi hutan cemara. Menuntun di jalan yang sempit, gelap, sepi, dan menanjak sekitar 35 derajat sejauh 1 km memakan waktu sekitar dua jam. 

Ketika sampai di puncak saya pun langsung ndlosor tak berkutik. Perlu waktu 20 menit memulihkan tenaga dan ketika ada tiga kali ada yang lewat dan kumintai tolong mereka malah ngibrit. 

Di remang cahaya bukan yang saat itu sedang gerhana saya berkaca di spion melihat wajah kuyuh, kusam, dan penuh debu pasir. Saya yakin inilah yang membuat orang lain takut menolong karena kuatir saya adalah penjahat yang berpura-pura atau mungkin juga dianggap penampakan lelembut Bromo. Syukurlah seorang tetangga yang baru berjualan di Jemplang lewat dan menarik sepeda motor saya sejauh 19km. 

Keesokan harinya sepeda motor kubawa ke bengkel ternyata kampas kopling habis. Bukankah ini kesalahan saya yang kurang merawat sepeda motor yang sering kuajak naik turun gunung dan bukan karena kuwalat atau hukuman yang harus saya terima? Sebab selama ini kala melewati kaldera dan lautan pasir Bromo bukan satu dua kali saya menolong orang lain.

Tahun 2015 kala pulang dari Gerojogan Sewu di atas Sarangan-Magetan, mobil kami mogok karena habisnya air radiator. Di tengah derasnya hujan tanpa ada sungai sangat sulit mendapat air untuk mengisi radiator sedang air minum kemasan hanya ada lima gelas.

Sepinya jalan dari lalu lintas kendaraan membuat istri dan putri kami sedikit kuatir. Apalagi sekitar lima mobil yang kami beri tanda minta bantuan tak mau berhenti dan justru mempercepat lajunya. 

Memang ada satu mobil yang memperlambat dan membuka separuh jendela namun sang pengemudi meminta maaf tak bisa menolong tanpa alasan. Akhirnya saya pun harus turun jalan kaki sekitar 500m dengan meninggalkan istri dan putri mencari sungai atau sumber air untuk mengisi radiator. Dan berhasil.

Berapa kali kita mengalami nasib sial mungkin kita sudah lupa kecuali yang membawa kenangan pahit dan menyesakkan. Namun sebaiknya tak perlu berlarut. Tak semua peristiwa kesialan adalah akibat kesalahan kita tetapi juga bukan karena perbuatan orang lain, ada juga yang terjadi karena tak terduga. Bahwa akhirnya membawa diri untuk mengoreksi kesalahan dan dosa kita adalah sesuatu yang baik untuk memperbaiki diri. Sehingga tak perlu menyalahkan orang lain atau keadaan. Sabar, tawakal, dan ikhlas akan membawa kita dalam ketenteraman. Apa pun yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun