Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara THR, Parcel, Gratifikasi, dan Korupsi

13 Mei 2020   09:47 Diperbarui: 13 Mei 2020   14:30 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir 20 tahun berwenang merawat bangunan atau bagian sarana dan prasarana serta menjadi guru ada pengalaman yang selama ini tak pernah terduga sebelumnya, yakni menerima parcel sebagai ucapan terima kasih dari perusahaan atau toko bahan bangunan dan ATK. 

Serta dari orang tua murid, sekali pun yang terakhir ini sejak sepuluh tahun yang lalu saya tolak dan meminta mereka memberikan para karyawan secara langsung. Alasan penolakan ini sudah saya tulis di sini.

Namun dari toko bahan bangunan dan ATK tetap saya terima dengan alasan bahwa ini merupakan bagian dari promosi dan sebenarnya parcel yang mereka berikan pun bukan murni dari mereka sendiri tetapi dari para penyuplai dan pabrik bahan bangunan atau alat-alat tulis dan kantor tersebut. Jumlah yang diberikan pun sesuai dengan jumlah karyawan harian yang ada. 

Yang mereka berikan bermacam-macam, mulai kaos, sarung, baju, tas, topi, dan kue kering yang semua bungkusnya tertulis nama perusahaan dan bukan toko yang menjual atau memasok kebutuhan kami.

Mengetahui hal seperti ini, saya pun mulai nakal dengan meminta jatah yang bukan promosi karena pembelian kami rerata setiap tahun pada masing-masing pemasok lebih dari 500 juta. Menodong minta suap dan grativikasi atau kurang jujur? Eit nanti dulu....

Pengeluaran yang cukup besar ini tentu saja menjadi pengawasan ketat pihak atasan yang juga mengadakan komunikasi dengan para pemasok dan selalu dilirik (baca: dicurigai) sesama teman. 

Pihak pemasok dan toko yang tak mau kehilangan konsumen pun mau tak mau harus memberi parcel kepada saya. Rupanya mereka pun ingin bermain (bisa saja melaporkan pada atasan) dan menawari saya apa yang bisa mereka berikan. Uang atau alat elektronik? Keduanya saya tolak dan meminta sama seperti yang mereka berikan untuk karyawan kami namun tanpa nama perusahaan! 

Saya pun meminta untuk tetap dikirim ke sekolah dan bukan di rumah. Mereka setuju dan pada akhirnya ketika kiriman parcel tersebut datang di sekolah atau kantor, saya mulai nakal lagi. 

Kepada pengirim, saya memberi tips (menyuap?) dan meminta untuk mengirim tiga perempat parcel ke rumah.  Sedang seperempatnya saya berikan pada teman seruangan. Curang dan culas? Eit nanti dulu....

Di tempat kerja kami, sekali pun karyawan harian lepas setiap tahun mendapat THR dan gaji ke 13 dan selama saya menjabat sebagai kabag juga sering mendapat tips berupa kaos dan kue (walau dari perusahaan pemasok) maka jika digelontor lagi maka dampak kurang baiknya mereka merasa sangat dibutuhkan dan minta perhatian lebih serta jika tidak dituruti maka kinerja mereka mengendor. 

Tak bisa dipungkiri bahwa SDM para karyawan harian lepas yang pendidikannya rendah dan etos kerjanya juga rendah. Membina mereka bukanlah dengan menggelontor materi belaka.

Bagaimana dengan parcel yang dikirim ke rumah?

Sekali pun parcel-parcel ini bukan untuk saya secara pribadi adalah riskan jika disimpan di kantor, para teman tentu ada yang melirik untuk diberi padahal mereka lebih dari mampu. 

Parcel-parcel ini akan saya berikan kembali pada karyawan saat mereka berkunjung ke rumah pada hari Natal atau beranjangsana pada hari raya Idul Fitri. Sedang sebagian lagi saya berikan pada orang lain yang membutuhkan seperti pasukan kuning, tukang becak, atau tuna wisma.

Grativikasi atau parcel?

Pihak pemasok dan toko mengetahui bahwa parcel semuanya dikirim ke sekolah dan kantor ternyata menyadari bahwa saya pun wajib diberi secara pribadi dengan anggapan bahwa sayalah yang menentukan membeli di perusahaan atau toko mereka. 

Tentu saja yang diberikan berbeda kualitas sekali pun wujudnya sama dengan yang diberikan untuk para karyawan. Misalnya kain dan baju batik, sarung, celana, bahkan bantal! Apakah hanya itu?

Tidak semua perawatan gedung dan pembangunan kami tangani sendiri, jika perawatan dan pembangunan besar untuk ukuran sekolah maka akan kami berikan pada kontraktor. 

Di sinilah saya mulai tahu ternyata pihak pemberi proyek mendapat fee antara 10-15% dari nilai kontrak. Berhubung proyek besar ini bukan hanya saya tangani sendiri selaku kabag umum tetapi juga dengan pimpinan lain maka fee ini tidak diberikan kepada saya secara pribadi tetapi diberikan kembali kepada yayasan. Kenyataan pihak kontraktor tidak serta merta menutup mata sekali pun saya tidak pernah meminta secara langsung atau pun dengan bahasa tubuh.

Kala saya pulang kerja, maka pernah sudah ada kiriman seperti MTB, pc i3, laptop, monitor, atau printer. Bahkan ketika memasuki masa pensiun terkirim sebuah karangan bunga dengan ucapan terima kasih 'atas kerja sama selama ini dan semoga tetap sehat dan kuat untuk touring' Sebulan kemudian datang kiriman sepeda motor untuk touring. Parcel, grativikasi, atau thanks giving?

Inikah yang menyebabkan korupsi di negeri kita sulit diberantas?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun