Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Menari Bahagia di Tanah Ibu Pertiwi

9 Februari 2020   13:23 Diperbarui: 9 Februari 2020   21:49 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah mendaki ke puncak gunung yang berdiri kokoh tegar menjulang langit di Ibu Pertiwi ini?

Berjalan dan dakilah tak perlu kau berlari

Merangkaklah kalau kau tak berani

Berdirilah di puncak singgasana alam semesta atau duduklah memandang jauh ke bawah sana

Lihatlah aku membentangkan tangan di lembah indah yang tak akan pernah kutinggalkan karena di sinilah aku dilahirkan dan harus menjalani hidup di negeri yang indah

Tak bahagiakah kau melihat canda tawa para orangtua beserta keluarga yang memetik padi di sejengkal tanah harapan?

Atau melihat para wanita begitu ceria memanen sayur di tanah surga ini

Tak perlu kubayangkan menjadi bidadari di negeri gersang jauh di sana yang belum kutahu surga atau neraka

Di sinilah aku dan mereka menjadi bidadari di tanah surga negeri Ibu Pertiwi

Gelak tawa tak akan sirna karena selalu bahagia dalam bekerja bukan mencari petaka

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Pernahkan kau melihat dari menara kuasa Sang Pencipta jauh di ujung tanah ini

Di tepian laut biru para nelayan menyandarkan perahunya di dermaga kasih yang telah menerima beribu jala ikan tuna dan berjuta mina

Ah, betapa kekar dan gagahnya mereka

Aku bangga pada para pria yang telah berjuang mencari nafkah demi keluarga atas nama bangsa

Para pria yang tak pernah berkeluh kesah mencari surga yang hilang di depan mata dan berjuang mencari surga fatamorgana di gurun gersang yang kini menjadi neraka

Aku bangga pada para pria yang tak pernah bercita menjadi pahlawan menumpahkan darah menciptakan neraka

Bukankah sawah ladang ini begitu subur untuk diabaikan dan ditinggalkan demi sebongkah cadas keras yang akan menimpamu berdarah-darah hingga ujung penantian sia-sia

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Bukankah telaga biru ini begitu jernih dan segar yang tak akan mengering mencipta dahaga

Bukankah mata air ini selalu menyirami wajahmu kala kau merasa lelah dan membuatmu kembali mempesona lelakimu usai mengolah tanah demi dirimu dan anak-anakmu

Kini tanah surga ini hanya bayanganmu belaka

Kau telah mencampakannya demi sebuah fatamorgana tanpa pelangi yang tak mungkin mengantarmu menjadi bidadari

Bukan lagi gubug tua nan indah dengan sepiring ubi, semangkok sayur, dan sekerat tahu tempe beroleskan sambal yang begitu nikmat

Selain tenda dengan sepotong roti harapan serta setetes air belas kasih yang sedikit melegakan dirimu yang menangis tanpa air mata yang terkuras habis bersama hilangnya bayangan surga

Di sini aku tak bisa berbuat apa selain berdoa dan berdoa kelak Sang Maha Kuasa memberimu bahagia

Entah di mana

Karena aku tak tahu masihkah merah putih berkibar di jiwamu?

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Masihkah di jiwamu merah putih berkibar?
Masihkah di jiwamu merah putih berkibar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun