Ada lima jenis sepeda yang saya tahu selama ini, yakni: sepeda onta, sepeda jengki, sepeda mini, sepeda balap, dan sepeda gunung (dan sejenisnya). Sebenarnya ada satu jenis lagi tapi jarang digunakan sebagai alat transportasi selain untuk bermain sirkus, yakni sepeda roda satu.
Sepeda onta merupakan sepeda dengan ukuran diameter roda lebih dari 27 inci. Karena bentuknya yang besar dan tinggi inilah disebut sepeda onta. Sebutan ini baru muncul setelah adanya sepeda jengki pada awal tahun 70an.
Sepeda onta ada dua jenis, sepeda lanang dengan palang lurus dari stir sampai bawah sadel. Umumnya dipakai kaum pria, makanya disebut sepeda lanang yang artinya pria. Sedang sepeda onta wedok tidak palang tetapi penguatnya melengkung ke bawah dari bawah stir hingga sadel.Â
Sepeda jenis ini kebanyakan dipakai kaum hawa yang kala itu masih banyak yang memakai kebaya atau rok. Makanya disebut sepeda wedok yang artinya perempuan.
Sepeda onta sekarang jarang lagi ditemukan di jalanan atau dipakai sebagai alat transportasi orang kota  dengan alasan kurang cepat selain oleh para pedagang keliling dari desa. Misalnya pedagang pisang, sayur, atau buah-buahan lainnya.
Tetapi beberapa orang di kota ada juga yang mempunyai hobi mengoleksi sepeda onta terutama yang sudah tidak diproduksi lagi alias sepeda antik.Â
Merek yang terkenal adalah Hartog dan Gazelle yang dulu banyak dimiliki oleh kaum ambtenar Belanda.Â
Harga sepeda onta seperti ini bisa mencapai puluhan juta. Apalagi yang berjenis doltrab atau yang menggunakan rem dengan pedal yang diputar ke belakang.
Pemakainya kebanyakan para siswa SMA dan mahasiswa, sebab kala itu anak SMA dan mahasiswa kalau memakai sepeda onta sering diledek sebagai tukang pos.Â
Sepeda jengki pun ada dua macam, lanang dan wedok, tetapi paling banyak jenis wedok.Â
Salah satu keunikan sepeda jengki ada yang disebut sepeda tik tik karena saat pedal tidak dikayuh akan menimbulkan suara tik...tik..tik...tik... Sepeda ini sekarang juga diburu kolektor.
Pada awal kemunculannya pada tahun 69an sepeda mini sangat ngetop dengan bel elektriknya yang kala itu masih merupakan barang mahal. Sempat ada beberapa sekolah yang melarang pemakaian bagi siswa karena dianggap pamer. Maklum kala itu jaman kalabendu...
Pada akhir tahun 70an muncul jenis sepeda baru, yakni BMX. Namun penulis memasukkan dalam jenis sepeda mini sekali pun pemakainya di luar negeri bukan hanya anak-anak. Sebab di negeri kita pemakainya kebanyakan anak-anak untuk bermain.
Pada pertengahan 80an muncullah jenis sepeda baru yakni sepeda gunung atau mountain bike dan sejenisnya. Hingga pertengahan 90an sepeda ini sempat meledak dengan berbagai even yang disebut fun bike.Â
Namun krisis ekonomi tahun 97 -- 99 membuat sepeda ini sedikit tenggelam karena harganya cukup mahal. Seiring perkembangan jaman dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, awal tahun 2010an kembali meledak hingga kini. Tumbuhlah berbagai komunitas sepeda dan aneka even, baik yang bersifat hiburan belaka maupun yang mempunyai tantangan.
Pada masa kini, masyarakat kota menggunakan sepeda sekedar untuk bersenang-senang demi kesehatan jiwa untuk menghilangkan kejenuhan rutinitas dengan sedikit mencari tantangan dengan memacu andrenalin lewat gowes ke gunung, bukit, dan lembah.Â
Harga sepeda pun beraneka macam mulai dari tiga jutaan hingga puluhan juta. Â Bahkan ada yang di atas seratus juta. Padahal untuk gowes mencari tantangan yang terpenting adalah lutut dan kebugaran fisik dan mental dan bukan harga dan merek sepeda. Â
Kala mereka tidak membawa hasil panen atau mencari rumput maka mereka ke sawah hanya mengendarai atau naik sepeda pancal saja. Apalagi jika yang dibawa hanya bekal makan, cangkul, dan sabit serta sedikit pupuk.
Penulis sendiri kalau ke sawah lebih banyak menggunakan sepeda jengki atau kadang memakai sepeda gunung  jika ingin juga jelajah desa dan alam. Apalagi kalau pasangan hidup ikut serta maka bukan hanya ke sawah tetapi juga mencari tantangan sambil berbulan madu. Asyik kan?
Kala bekerja pun lebih banyak berangkat menggunakan sepeda jengki atau sepeda gunung, baru saat harus keliling ke unit kerja lain demi kecepatan bergerak wajib menggunakan sepeda motor atau mobil dinas.Â
Sedangkan bila akan kontrol  karyawan di dalam satu unit yang luasnya sekitar 7 hektare tetap menggunakan sepeda gunung milik sekolah yang mendapat hadiah dari KOMPAS pada tahun 2011 lalu.
Apakah sepeda masih menjadi bagian gaya hidup untuk transportasi atau sekedar bersenang-senang demi sebuah kegembiraan dan kesehatan jiwa dan raga? Pilihan ada di masing-masing pribadi. Bagi penulis sepeda sudah amat berjasa membawa ke jenjang prestasi karena selama lebih dari 20 tahun mengantar bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H