Bicara wisata liburan sering terlintas dalam benak kita adalah bepergian ke luar kota mengunjung tempat wisata yang menarik dengan aneka wahana permainan, pertunjukan, serta sajian kulinernya.Â
Maka terbayang pula berapa dana yang harus dikeluarkan. Bagi mereka yang bisa menyisihkan dalam arti mempunyai penghasilan yang cukup tentu bisa berwisata seperti bayangan di atas bukanlah hal yang mustahil . Nah, bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan, wisata ke luar kota mungkin hanya angan.
Misalnya melakukan sesuatu yang baru di sekitar rumah atau menikmati hobi, entah berkebun, membaca, dan menulis. Kalau toh sudah bosan menikmati apa yang ada di rumah, bisa saja jalan-jalan atau bersepeda di sekitar desa atau kampung untuk sekedar menikmati pemandangan dan memoto situasi yang menarik sambil menggali kearifan lokal yang ada untuk dijadikan sebuah tulisan.Â
Bukankah wisata sederhana ini bisa dilakukan bersama keluarga. Apalagi jika anak sudah dewasa dan tak mau lagi wisata dengan orangtua karena sudah punya rencana, maka kita bisa melakukan bersama pasangan kita. Tak perlu malu apalagi gengsi. Terpenting kita merasa gembira, ceria, mesra, dan menambah kebahagian. Bukankah itu yang utama?
Memang kadang agak jauh sedikit, sekitar 15-25 km dari rumah yang kami tempuh sekitar 5 jam pergi pulang termasuk menikmati keindahan yang ada. Tapi sering juga jalan kaki jelajah alam dan desa menyusuri sungai dan pematang sawah. Lalu berbincang dengan para petani tentang kehidupan mereka atau suka duka sebagai seorang petani.Â
Entah dia buruh tani atau petani penggarap atau pemilik sawah. Perjalanan menyusuri alam dan desa ini tentu setiap daerah mempunyai tantangan yang berbeda.Â
Entah kondisi jalan setapak, teriknya mentari, rimbunnya kebun atau hutan rakyat yang banyak hewan liarnya yang kecil tapi cukup membuat keder, seperti koloni semut, lebah, dan nyamuk. Atau secara tak sengaja bertemu ular lewat atau berjemur di di setapak sehingga kita kaget. Di sinilah asyiknya.
Mengabadikan sisi kehidupan manusia merupakan hal yang gampang-gampang susah, karena pada masa kini privacy seseorang sangat dihargai. Maka sebaiknya kita minta ijin dulu.Â
Percayalah dengan senyum, sapa, dan salam kita akan diberi kesempatan untuk secara candid mengabadikannya. Selama ini penulis tak pernah mengalami kesulitan atau halangan untuk jepret-jepret.Â
Bahkan bila diijinkan malah mareka kadang agak kebablasan keterbukaannya. Sebagai contoh misalnya, ketika saya minta ijin seorang wanita muda yang sedang mandi di sungai, malah dia mau telanjang dada yang membuat penulis malah tersipu tapi tetap saja memotonya sekali pun istri juga agak cemberut karena sedikit cemburu.Â
Tapi terpenting tidak diposting di Kompasiana. Gawat.... Nanti bisa diblokir seperti di FB dan ditegur IG, padahal yang ditampilkan hanya orang setengah telanjang dan anak mandi telanjang tapi hanya tampak punggungnya saja.
Bagaimana dengan kuliner.Â
Kalau toh memang dana terbatas tak usah malu untuk jajan di lapak kaki 5 (K5) bahkan membawa bekal sendiri lalu dinikmati di pinggir sawah, kebun, atau hutan juga tidak masalah. Malah bisa menjadi cerita yang beda.
Pengalaman dan hasil jepret-jepret seperti ini tentu saja cukup menarik untuk ditulis dan diposting. Penulis yakin sepenuhnya Kompasianer hapenya alias smartphonenya sudah cukup mumpuni untuk merekam gambar dan pembicaraan bahkan untuk menulis dan langsung posting. Jadi wisata liburan tak harus pergi jauh. Kenalilah desa dan alam kita serta kita kenalkan pada yang lain. Sungguh mengasyikkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H