Belum habis kami menyantap makanan, bangku di belakang kami ada kehebohan seorang berteriak-teriak marah kepada seseorang (putra atau putrinya) yang rupanya pergi tanpa pamit dan kedapatan merokok. Memang, sebagai orang desa masuk Jakarta, saya terheran-heran dengan suasana di Kemang Mall yang semakin malam semakin menunjukkan kehidupan yang demikian membuat terperangah.Â
Ketika saya sedang menikmati tiga Srikandi yang ditampilkan oleh Kompasiana, istri berkeliling dan melihat dan memotret sudut-sudut remang kafe Kemang Mall yang membuat mengelus dada. Kemang Mall. Jakarta Selatan adalah gambaran kehidupan bebas kaum milenial? Entahlah.... Teringat putusan sulung kami saat menolak beasiswa UI dan memilih mandiri di UGM setelah merasakan gerahnya kehidupan di Depok walau hanya seminggu.
Sekitar jam 11 malam, setelah hampir satu jam menunggu Grab kami baru meninggalkan Kemang Mall.
Minggu jam enam pagi, kami menuju Katedral Keuskupan Agung Jakarta untuk mengikuti misa kudus dengan naik Grab pula. Jika sabtu malam dari Kemang Mall naik Grab harus bayar sesuai tarif saat itu sebesar 116 ribu, kini dari Hotel Senen ke Katedral cuma bayar 16 ribu. Sungguh tak tega apalagi mobilnya Pajero. Pajero untuk ngegrab sungguh heraaaan... Lebih heran lagi ketika uang kembalian yang cuma 4 ribu tidak kuambil sang sopir kalo mengucapkan terimakasih sambil membungkuk bagaikan petani pekerja yang membungkuk pada juragannya.
Mengikuti misa kudus di Katedral sulit untuk mengheningkan diri. Ada umat yang datang mengikuti misa kudus dengan memakai pakaian  yang kurang pantas. Umat yang mau berdoa kadang terganggu pula oleh wisatawan yang ikut ziarah dan rekreasi. Kapok.
Selesai misa, kami selfie dan jeprat-jepret yang secara tak sengaja dikenal oleh seorang Kompsianer cewek dari Palembang yang juga barusan mengikuti misa kudus. Tapi kehadirannya di Jakarta bukan karena ikut Kompasianival tapi sedang mengikuti semacam pelatihan selama tiga bulan sebagai calon pegawai KA. "Mbah Ukik jadi menang...?" katanya yang hanya kujawab dengan senyuman. "Wuiiik...Mbah Ukik ternyata terkenal sampai cewek cantik Palembang pun tahu," kata istriku. Cemburu? Biasalah wanita....
Selesai jeprat-jepret kami jalan kaki ke Biara Ursulin yang hanya berjarak tak lebih dari 100m dari Katedral. Selanjutnya kami berdua jalan kaki ke Lapangan Banteng yang jauh berbeda dengan saat saya berkunjung ke sini tahun 82. Di sini kami juga bertemu dengan teman dunia maya dari kelompok biketography yang sedang bergowes ria.
Saat saya sedang memoto patung Pembebasan Irian Barat yang tinggi itu dengan cara ndlosor di rerumputan didatangi dan ditegur satpam. Herannya dia masuk ke rerumputan dengan naik sepeda motor. Â Dari lapangan Banteng dengan jalan kaki kembali ke jalan utama, adanya dua keluarga manusia gerobak yang sedang mangkal di bawah pohon cukup bagus untuk diabadikan. Ternyata salah satu ibu penghuni gerobak tersebut marah-marah. Demikian juga saat mau memoto orang latihan panahan di halaman depan Kementerian Keuangan, ternyata mereka melotot dulu sebelum dijepret. Oh, Jakarta....
Entah mobil, sepeda motor, sepeda gowes, bahkan seorang polisi dengan mogenya yang langsung wuuuusss ketika tahu kupoto, padahal sebelumnya pelan sekali. Yang paling mengherankan, mengapa para goweser Jakarta tidak menggunakan roadbike saja untuk jalanan datar kok malah menggunakan mtb dan sepeda downhill. Mungkin uang mereka berlebih.