Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kenangan Hadir di Kompasianival 2018

19 November 2019   13:47 Diperbarui: 19 November 2019   13:57 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberangkatan kami, saya dan istri maksudnya, ke Kompasianival sebenarnya setengah hati, pertama saya sedang menghadapi permasalahan pekerjaan sehubungan kepindahan tugas dan menghadapi pensiun dan kedua karena saya tidak suka keramaian kehidupan kota. Namun, karena istri juga ada tugas ke kantor pusat yang ada di sebelah kanan Katedral Keuskupan Agung Jakarta atau depan Masjid Istiqal, kami pun berangkat.

Sebagai orang gunung yang hanya lima kali datang ke Jakarta seperti yang saya tulis di sini . Saya pun bertanya lewat WAG Kompasianer bagaimana transportasi ke tempat tujuan. Setelah dapat info, kami pun berniat gowesria dari stasiun walau dari info tersebut kemungkinan tempat parkir sepeda tidak ada. Beruntunglah, pihak stasiun Malang menolak mengangkut sepeda kami.

Perjalanan dengan KA Matarmaja, karena ini yang dapat kami peroleh tiketnya saat itu, selama hampir 12 jam adalah sebuah penderitaan karena kursi sepanjang 100cm dan lebar 36cm harus diduduki tiga orang. Syukurlah sampai di Solo penumpang ke tiga di bangku kami, turun sehingga hingga Stasiun Senen kami sedikit leluasa.

Saat mendekati Jatinegara, Mbak Tamita bertanya sudah sampai di mana, sebuah keberuntungan lagi, ternyata mendapat perhatian dari Kompasianer. Saya minta tolong dicarikan hotel. Apes. Karena sibuk, Mbak Tamita tak bisa dihubungi lagi. Saya pun clingak-clinguk harus bagaimana. Keberuntungan datang lagi. Dari jendela sepur, saat berjalan lambat, kulihat di belakang Stasiun Senen ada Hotel Senen.

Katak dalam tempurung. Tak tahu jalan. Malu bertanya sesat di jalan. Bertanyalah pada petugas stasiun yang sangat ramah dengan menjawab enteng 'ya lewat jalan keluar Mas...' Saya pun langsung menghadap seorang pimpinan dengan bersuara agak keras 'Didik  itu petugas....' sambil menunjuk wajahnya.  

Penumpang lain cukup kaget melihat orang desa seperti ini dan petugas pun keder. Lalu dengan santai, setelah kulihat sepi tak ada kereta lewat, saya lewat rel sepanjang tak lebih dari 20m keluar stasiun. Rambu larangan berjalan kaki lewat rel kuabaikan dan petugas yang keder tak berani melarang. Tibalah di Terminal Senen (?) yang ruwetnya sama saja dengan Terminal Gadang Malang.

Setelah berjalan tak lebih dari 10 menit, sudah sampai di Hotel Senen yang terpampang  tarif kelas Melati seharga 279 ribu per kamar dan setiap hari tersedia. Ternyata saat kami datang sudah penuh semua. Ah, biasa. Bahasa bisnis! Kami pun harus memilih kamar seharga 675 ribu.

Jam 12 siang selesai mandi langsung panggil grab menuju Mal Kemang. Sekali lagi wajah desa diragukan sang sopir dengan mengatakan tarifnya, padahal sudah jelas tertulis di hape. Aneh-aneh saja. Belum separuh perjalanan, dia minta lewat TOL dengan tambahan tarif. 

Demi sampai di tujuan saya pun okey saja tapi tidak mau tambah tarif selain kuberi kartu TOL. Melihat saldo kartu TOL yang nurutnya gedhe dan ketika turun ongkosnya kutambah, sikapnya yang tadi agak-agak kurang mengenakkan ganti senyum-senyum senang. Halaaaaah.....

Ternyata banyak juga yang pingin dekat Anies. Dokpri
Ternyata banyak juga yang pingin dekat Anies. Dokpri
Di depan Mall Kemang terlihat banner ucapan selamat dari Oppa Effendi Tjiptadinata, langsung kutahu ini pasti tempatnya. Setelah daftar lagi dan minta tolong pada cewek cantik untuk spot foto lalu masuk ke area. Beberapa Kompasianer ternyata sudah duduk manis di masing-masing kelompoknya.

Kusapa pertama, siapa lagi kalau bukan Mbak Tamita lalu Mbak Muthiah selanjutnya menuju tempat duduk dan berkenalan dengan para senior seperti Oppa Jappy, Bung Dian Kelana, Bang Dizzman entah siapa lagi.... Rupanya yang sudah tahu karena pernah ketemu di ICD 2 hanya Bang Dizzman. Sambil berbicang kulihat seorang pemain catur sedang diam semedi duduk sendiri untuk merancang sebuah langkah yang tepat. Tak mau mengganggu, saya pun diam saja.

Tak lebih dari 15 menit duduk, istri kutinggalkan berbincang sendiri dengan teman-teman K. Entah siapa saja yang diajak bicara. Tapi yang jelas, sampai saat ini masih terkenang dengan seorang wanita yang duduk sebelah Oppa Jappy, sebagai seorang pengusaha perhotelan. Serta seorang K'ner wanita yang merupakan istri  seorang pilot.

Kluyuran di sekitar area, sebenarnya ingin juga berkenalan dan ingin berbicang dengan kelompok K'ner yang sedang asyik. Tapi saya pun harus tahu dirilah. What am I? Kata Jacky Chan...

Sambil keluyuran saya jeprat-jepret sana sini, berkenalanlah dengan Pakdhe Jenggot, Mas Reno, Mbak Nursini, dan entah siapa lagi. Dengan mereka inilah saya banyak berbincang dan bertukar pengalaman di Kompasiana. Istri masih kubiarkan cari teman sendiri.

Capai kluyuran rasa lapar mulai menggoda, namun kehadiran Anies Baswedan dan Haniff Dadiri rupanya menjadi daya tarik istriku yang juga belajar jeprat-jepret dengan hape. Ketika ketemu Haniff Dadiri, sungguh tak kusangka pria yang pakai kaos Menteri Jaman Now adalah seorang pemuda yang bergaya demikian. Eh ternyata menteri. Selesai memberi sambutan, Beliau berbincang dengan para K'ner dalam suasana santai serta saya pun sempat duduk sebelahnya dan omong-omong sekitar tiga menit lalu mundur dan ganti Mas Ign. Djoko alias Pakde Jenggot yang duduk di sebelahnya.

Ketika saya mundur dan berdiri terasa ada yang aneh di celana yang kupakai. Astagaaaaa.... Ternyata rumput sintetis yang kududuki basah sehingga celana saya pun basah separo. Tak mau masuk angin dan malu dilihat, saya pun bertanya pada Mbak Tamita apa ada yang jual celana di mall ini. Berdasarkan petunjuknya saya pun masuk mall dan berniat membeli celana. Tapi begitu melihat harga celana yang luar biasa mahalnya nurut ukuran saya, langsung mengekeret.

Haniff Dadiri, Menteri Jaman Now Sumber; FB Tamita W
Haniff Dadiri, Menteri Jaman Now Sumber; FB Tamita W
Menghindari masuk angina, saya pun langsung mengambil dua gelas rujak manis yang ditawarkan Mas Reno. Ternyata rujak manis yang pedas ini memang manjur karena badan saya langsung gerah tapi perut mules karena begitu pedes.

Berbincang dengan Mbak Nursini dan Mas Reno cukup lama ternyata bisa melupakan perut lapar dan mules serta celana basah yang mulai kering. Istri masih kubiarkan dengan kegiatannya sendiri.

Saya pun kembali kluyuran menjumpai para K'ner dan berbincang dengan mereka walau hanya sebentar-sebentar saja. Orang Jawa bilang 'sithik-sithik ben rata' sedikit-sedikit asal merata. 

Tapi harus kuakui, saya belum adil karena lebih banyak berbicang dan bertukar pengalaman dengan Mbak Nursini Said, Mas Reno, Bang Irwan Rinaldi Sikumbang, Edy Piyatna, Ign Joko D, Mas Giri Lumakto, dr. Posma Siahaan, dan seorang penulis tentang museum Mas Yulianto. Sedang yang pernah kutemu di ICD2 Malang atau pernah berbincang lewat WA maupun messenger FB sedikit kuabaikan karena sudah saling sedikit kenal. Mohon maklum karena pikiran kami berdua saat itu sedang agak mumet.

Jam setengah sembilan malam, dengan sedikit menutup mata walau hati malu, karena  kami merasa begitu lapar dan pesan dua piring menu dan dua gelas minuman yang biasa saja tapi harganya membuat kami terbelalak karena harus mengeluarkan di atas 500 ribu. 

Padahal di depan kami sepertinya  ada Mbak Listhia, Mbak Tamita, Mas Ganendra, Mbak Wahyu Sapta, Mbak Siti N, Mbak Muthiah A, Mbak Hennie Engelina, Mbak Riap Rindu, Mas Edy Priyatna dan entah siapa lagi..... Sungguh kami mohon maaf, karena tidak menawari sekali pun sekedar pemanis bibir. Atau orang Jawa bilang 'mung abang-abange lambe' Dan kepada Mas Edy Priyatna saya mohon maaf karena memberikan voucher hadiah dari Kompasiana yang hanya bisa diambil di Bekasi dan tak mungkin bisa kami gunakan.

Belum habis kami menyantap makanan, bangku di belakang kami ada kehebohan seorang berteriak-teriak marah kepada seseorang (putra atau putrinya) yang rupanya pergi tanpa pamit dan kedapatan merokok. Memang, sebagai orang desa masuk Jakarta, saya terheran-heran dengan suasana di Kemang Mall yang semakin malam semakin menunjukkan kehidupan yang demikian membuat terperangah. 

Ketika saya sedang menikmati tiga Srikandi yang ditampilkan oleh Kompasiana, istri berkeliling dan melihat dan memotret sudut-sudut remang kafe Kemang Mall yang membuat mengelus dada. Kemang Mall. Jakarta Selatan adalah gambaran kehidupan bebas kaum milenial? Entahlah.... Teringat putusan sulung kami saat menolak beasiswa UI dan memilih mandiri di UGM setelah merasakan gerahnya kehidupan di Depok walau hanya seminggu.

Sekitar jam 11 malam, setelah hampir satu jam menunggu Grab kami baru meninggalkan Kemang Mall.

Hlo ini kan jalur Busway? Dokpri
Hlo ini kan jalur Busway? Dokpri
Kasihan goweser Jakarta. Dokpri
Kasihan goweser Jakarta. Dokpri
0 0 0 0

Minggu jam enam pagi, kami menuju Katedral Keuskupan Agung Jakarta untuk mengikuti misa kudus dengan naik Grab pula. Jika sabtu malam dari Kemang Mall naik Grab harus bayar sesuai tarif saat itu sebesar 116 ribu, kini dari Hotel Senen ke Katedral cuma bayar 16 ribu. Sungguh tak tega apalagi mobilnya Pajero. Pajero untuk ngegrab sungguh heraaaan... Lebih heran lagi ketika uang kembalian yang cuma 4 ribu tidak kuambil sang sopir kalo mengucapkan terimakasih sambil membungkuk bagaikan petani pekerja yang membungkuk pada juragannya.

Mengikuti misa kudus di Katedral sulit untuk mengheningkan diri. Ada umat yang datang mengikuti misa kudus dengan memakai pakaian  yang kurang pantas. Umat yang mau berdoa kadang terganggu pula oleh wisatawan yang ikut ziarah dan rekreasi. Kapok.

Selesai misa, kami selfie dan jeprat-jepret yang secara tak sengaja dikenal oleh seorang Kompsianer cewek dari Palembang yang juga barusan mengikuti misa kudus. Tapi kehadirannya di Jakarta bukan karena ikut Kompasianival tapi sedang mengikuti semacam pelatihan selama tiga bulan sebagai calon pegawai KA. "Mbah Ukik jadi menang...?" katanya yang hanya kujawab dengan senyuman. "Wuiiik...Mbah Ukik ternyata terkenal sampai cewek cantik Palembang pun tahu," kata istriku. Cemburu? Biasalah wanita....

Selesai jeprat-jepret kami jalan kaki ke Biara Ursulin yang hanya berjarak tak lebih dari 100m dari Katedral. Selanjutnya kami berdua jalan kaki ke Lapangan Banteng yang jauh berbeda dengan saat saya berkunjung ke sini tahun 82. Di sini kami juga bertemu dengan teman dunia maya dari kelompok biketography yang sedang bergowes ria.

Saat saya sedang memoto patung Pembebasan Irian Barat yang tinggi itu dengan cara ndlosor di rerumputan didatangi dan ditegur satpam. Herannya dia masuk ke rerumputan dengan naik sepeda motor.  Dari lapangan Banteng dengan jalan kaki kembali ke jalan utama, adanya dua keluarga manusia gerobak yang sedang mangkal di bawah pohon cukup bagus untuk diabadikan. Ternyata salah satu ibu penghuni gerobak tersebut marah-marah. Demikian juga saat mau memoto orang latihan panahan di halaman depan Kementerian Keuangan, ternyata mereka melotot dulu sebelum dijepret. Oh, Jakarta....

Si besar yang tak mau mengalah. Dokpri
Si besar yang tak mau mengalah. Dokpri
Kayak Bajay Bollywood. Dokpri
Kayak Bajay Bollywood. Dokpri
dokpri
dokpri
Saat menyusuri sepanjang Jl. Budi Utomo dengan jalan kaki rupanya kami berdua cukup menarik perhatian mereka yang lewat. Mungkin karena saya memakai kaos dan topi rimba Kompasiana sedang istri memakai gaun batik (maklum harus menemui pimpinan pusat) atau karena saya jeprat-jepret pelanggar jalu busway. 

Entah mobil, sepeda motor, sepeda gowes, bahkan seorang polisi dengan mogenya yang langsung wuuuusss ketika tahu kupoto, padahal sebelumnya pelan sekali. Yang paling mengherankan, mengapa para goweser Jakarta tidak menggunakan roadbike saja untuk jalanan datar kok malah menggunakan mtb dan sepeda downhill. Mungkin uang mereka berlebih.

Tak terasa hingga jam sebelas kami masih di Jl. Budi Utomo udara terasa makin panas. Daripada gerah merasakan Jakarta, setelah berjalan kaki tak lebih dari 1 km, di Jl. Dr. Wahidin kami memutuskan kembali ke Hotel Senen dengan naik bajay yang jalannya bagaikan bajay yang ada di Bollywood.

Sesampainya di Hotel Senen, kami langsung mandi lagi karena tak tahan gerahnya Jakarta dan jam 12 sudah sampai di Stasiun Senen dengan jalan kaki saja. Apakah Stasiun Senen salah satu gambaran ruwetnya Jakarta, kok antrian calon penumpang yang begitu panjang di luar pagar peron dibiarkan saja. 

Saya pun menghadap petugas untuk meminta pagar dibuka supaya penumpang menunggu di peron saja. Petugas meminta saya menunjukkan karcis setelah mengetahui saya ke Malang dia pun mengatakan 'Arema ya Sam...' Lalu mempersilakan masuk dengan diikuti puluhan calon penumpang lainnya.

Di dalam KA Majapait, saya kembali ngomel dalam hati. Harga karcis dua kali lipat KA Matarmaja tetapi ukuran tempat duduknya sama saja. Bedanya satu kursi semua untuk dua penumpang. Sedang KA Matarmaja satu kursi ada yang untuk tiga orang. Perjalanan lebih dari 10 jam kembali membosankan saya.

Satu hiburan yang membuat hati gembira tapi juga beban untuk lebih dewasa dalam menulis dan komen adalah menerima People's Choise Award dan Best in Citizen Journalism.

Baca juga: Jakarta? Ooo.... Jakarta!

Jakarta... Oh Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun