Pertanyaan ini terlontar ke kakek saya, sekitar tahun 64an kala kami masih di Kebumen. Kala itu, Kakek mengambil sesobek daun kering pisang susu yang dilinting dengan sedikit tembakau lalu dijadikan rokok kala tak punya uang. Kakek menggeleng dan menjawab lirih,"Menghilangkan jenuh."
"Kalau rokok klembak?" tanyaku lugu. "Padha wae..." Sama saja, jawabnya enteng.
"Kok diberi menyan?" desakku yang masih SD. "Ben wangi, ndik mburi kae mambu jumbling, kandang, karo telek pitik." Biar harum, di belakang bau WC (terbuka), kandang, dan kotoran ayam.
Sejak saat itu saya memahami bahwa rokok klembak dan menyan bukanlah untuk memanggil lelembut tetapi sebagai pengharum suasana dan aroma terapi menurut kearifan lokal Jawa. Dan merokok termasuk dengan aroma kemenyan hanyalah salah satu cara untuk mendapat kenikmatan. Tak lebih.
Beberapa karyawan kami, kalau pikiran buntu atau saat istirahat akan merokok di tempat yang telah ditentukan. Ketika kembali bekerja mereka akan sedikit bersemangat melanjutkan tugas. Karena merokok? Mereka mengatakan tidak sepenuhnya.
Beberapa seniman ketika berkarya juga sambil merokok. Apakah inspirasi bertambah mereka? Mereka menjawab enteng jika merokok hanya kebiasaan. Tetapi ada salah satu seniman (perupa) yang terinspirasi membuat patung perokok yang terbuat dari bonggol kayu jati.
Bagaimana dengan wanita buruh tani atau pedesaan yang merokok? Gantinya menginang, jawabnya ringan. Pun mengaku tak ada faedahnya selain sedikit kenikmatan untuk melupakan kejenuhan.
Artinya merokok memang bukan sebuah kebutuhan tetapi sebuah gaya hidup berbeda untuk sebuah kenikmatan yang jika tak terpenuhi bisa membuat yang kecanduan akan kelabakan.
Jika harga rokok naik? Bisa membeli rokok putihan. Rokok tanpa cukai produksi rumahan. Tanpa bungkus kertas selain plastik. Walau membelinya tidak secara terus terang selain tutur tinular.Â
Tak kuatir sakit? Ah, sudah puluhan tahun saya merokok cuma batuk-batuk karena masuk angin. Jawab seorang Emak yang sedang merokok di pinggir sawah. Dilema.