Sudah setengah tahun Budhe As berjualan di pasar krempyeng tengah desa. Rasa berbeda dengan masakan Bik Nem membuat masakannya kurang laku. Pulang dengan sisa yang kadang masih banyak sekali pun mentari sudah berjalan ke barat.
O O O
Belum selesai kumasukkan bumbu pecel ke dalam ranji. Suara lembut menyapaku,"Sudah tinggal main sana..."
Tanpa pamit aku langsung lari menuju lapangan menemui Joko, Umar, dan Brodin.
1990
Kuseka dengan air hangat wajah Budhe As yang sudah keriput namun ketegarannya masih nampak jelas dari tatapan matanya yang sayu. Tiga tahun lebih terbaring sudah karena lelah membesarkan diriku dalam penantian panjang kembalinya bapak-ibuku dan Pakdhe Astono yang tak pernah terdengar kabarnya.
"Kapan kau lamar Farida...?," tanya Budhe As dengan lirih dengan tangannya yang lembut memegang tanganku. Aku menggeleng sambil tetap menyeka wajah Budhe As.
"Kalau dia minta kamu ikut dia, biar Joko dan istrinya saja yang menjagaku..."
Aku tetap diam. Tiga puluh lima tahun Budhe As merawat dan mendidikku penuh keprihatinan.
Setitik air mata kulihat keluar dalam keheningan senja. Pegangan tangannya mulai kurasa meregang dan dingin. Di bibirnya tersimpul sebuah senyuman manis seperti kala ia dengan gembira bermain dan menari di pematang sawah bersama Bik Nem kala mau panen di sawah kami di belakang rumah.