1966
Aku hanya diam menundukkan kepala tanpa berani memandang wajah Budhe As yang berdiri di sebelah lincak yang masih berantakan. Kubayangkan wajahnya yang kuyuh lelah dengan tatapan matanya yang sayu menahan kejengkelan.
"Sudah mandi...?" tanya Budhe dengan suara lembut. Aku hanya menggelengkan kepala dan segera mengambil ember untuk menimba di perigi Bik Nem yang berjarak tiga rumah dari tempat tinggal kami.
Tiga kali bawaan dua ember, satu tempayan dan dua maron sudah penuh. Ketika kutaruh ember terakhir, di sebelah maron sudah ada perlengkapan masak dan makan yang kotor tergeletak. Artinya aku harus mencuci.
"Bas...Bas...Basudewo ayo bal-balan,"
"Bentaaar...masih cuci-cuci piring," seruku sambil melongok ke depan.
Joko, Umar, dan Brodin menjawab bersama,"Kutunggu di lapangan ya...."
0 0 0
Korahan kali ini ternyata tak terlalu banyak. Sudah pasti nasi pecel jualan Budhe hari ini sepi. Selesai mencuci perlengkapan jual, kulihat di marang pecel, nasi, peyek, mendhol, dan sambel goreng hanya berkurang sedikit. Aku pun mengeluarkan dari marang dan memasukkan ke ranji.
Ingin segera aku ke lapangan tapi di kamar kulihat Budhe tertidur pulas.
O O O
Bruaaak....pintu kayu reot depan rumah ditendang seorang tentara. Tiga orang lalu masuk sambil bentak-bentak,"Mana Parjo... Parjo mana...?"
Ibu yang sedang mencuci baju di tempat yang sama aku mencuci piring, langsung gemetaran dan menunjuk ke arah tegal tempat bapak sedang mencangkul. Ibu menangis dan merangkulku yang kebingungan kala melihat Bapak diseret naik jip lalu entah dibawa ke mana. Ibu terus menangis hingga malam hari. Dan semakin menjadi kala Budhe As datang.....
Sejak malam itu, Budhe As menginap di rumah kami. Rumah peninggalan kakek.
0 0 0 0
Hari Kamis, banyak guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas. Pak Wardoyo, kepala sekolah kami menyuruh para siswa pulang sebelum sebelum waktunya pulang. Aku, Brodin, Umar, dan Joko langsung pulang berniat sepakbola di sawah yang bera atau dibiarkan kering yang ada di belakang rumahku. Ternyata di dalam rumah cukup ramai dengan ibu-ibu yang menghibur Budhe As yang kulihat terbaring lemas di kamar. Tak kulihat sosok ibu.
"Wis sekolah sing pinter ya Le...Ben mbesok uripmu kepenak," kata Bik Nem sambil mengusap rambutku.
"Yuk makan di rumahku,"ajak Joko cucu Bik Nem.
Aku yang lapar langsung saja mau menuju rumah Bik Nem. Bik Nem sendiri masih di kamar menemani Budhe As.
"Bapak dan ibumu sekarang dipenjara kayak bapak dan ibuku. Kata orang-orang bapak kita PKI."
Tak kugubris ucapan selain melahap nasi pecel Bik Nem.
Hari-hari selanjutnya rumah kami semakin sepi. Sebelumnya, kala sore di teras rumah sering dijadikan tempat berkumpul beberapa tetangga kami bersama Bapak dan Pakdhe Astono untuk bincang-bincang.
Aku sering sepi sendiri bahkan kelaparan. Budhe Astono lebih banyak mengurung dalam kamar. Hanya ketelatenan Bik Nem mengajak bicara, Budhe As mau keluar kamar atau membantu Bik Nem menyiapkan masakan untuk dijual di pasar.
"Dodolan tambah suwe tambah sepi. Urip pancen angel nanging ra prelu ngersula...kowe saiki kudu golek kaya dhewe. Dodolan jamu apa pecel...sakarepmu. Endi sing isa." kata Biknem. (Jualan makin lama makin sepi. Hidup memang sulit tapi jangan mengeluh. Sekarang kamu harus mencari nafkah sendiri. Menjual jamu atau pecel terserah kamu. Mana yang kau suka...)
Budhe As diam saja.
0 0 0
"Budheee....Budhe As...Embah Nem ga tangii..." teriak Joko sambil nangis. Budhe As dan aku langsung lari lewat belakang ke rumah Bik Nem. Di dalam beberapa orang sudah berkumpul. Tampak Bik Nem digotong ke dipan ruang tamu. Melihat hal itu Budhe As jatuh pingsan.
Belum genap setahun kami kehilangan enam anggota keluarga.
Â
Sejak kematian Bik Nem, Budhe As menjadi agak aneh. Dengan kerudung putih dan kebaya hijau ia sering berjalan di pematang sawah dengan tangan agak dibentangkan seperti menari.
"Iyaa.....besok Budhe ga akan menari lagi kok. Itu hanya mengenang Bik Nem saat di sawah kala budhe masih remaja."
"Aku dan Joko jadi malu, kata orang Budhe jadi owah...." kataku sambil melirik Joko yang asyik ngrokoti pencit.
"Besok budhe mulai jualan pecel kamu membantu ya...."
Sudah setengah tahun Budhe As berjualan di pasar krempyeng tengah desa. Rasa berbeda dengan masakan Bik Nem membuat masakannya kurang laku. Pulang dengan sisa yang kadang masih banyak sekali pun mentari sudah berjalan ke barat.
O O O
Belum selesai kumasukkan bumbu pecel ke dalam ranji. Suara lembut menyapaku,"Sudah tinggal main sana..."
Tanpa pamit aku langsung lari menuju lapangan menemui Joko, Umar, dan Brodin.
1990
Kuseka dengan air hangat wajah Budhe As yang sudah keriput namun ketegarannya masih nampak jelas dari tatapan matanya yang sayu. Tiga tahun lebih terbaring sudah karena lelah membesarkan diriku dalam penantian panjang kembalinya bapak-ibuku dan Pakdhe Astono yang tak pernah terdengar kabarnya.
"Kapan kau lamar Farida...?," tanya Budhe As dengan lirih dengan tangannya yang lembut memegang tanganku. Aku menggeleng sambil tetap menyeka wajah Budhe As.
"Kalau dia minta kamu ikut dia, biar Joko dan istrinya saja yang menjagaku..."
Aku tetap diam. Tiga puluh lima tahun Budhe As merawat dan mendidikku penuh keprihatinan.
Setitik air mata kulihat keluar dalam keheningan senja. Pegangan tangannya mulai kurasa meregang dan dingin. Di bibirnya tersimpul sebuah senyuman manis seperti kala ia dengan gembira bermain dan menari di pematang sawah bersama Bik Nem kala mau panen di sawah kami di belakang rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H