" Mbaaaah...."
 " Tak usah malu pada Mbah, dirimu memang sudah waktunya berkeluarga lagi. Siapa sih yang tak butuh teman hidup untuk memenuhi kehendak Tuhan. Namun aku paham, wanita kurang pantas jika bermain demung lalu menggesek rebab..."
 "Walaaaah Mbah kok berpantun lagi...."
 "Tak pantas wanita mengutarakan dan mohon jawaban."
 "Tapi aku seperti berharap tumbuhnya jamur di musim kemarau."
 "Apa yang sudah ditetapkan Tuhan bakal terjadi. Terhalang gunung dan samudra tetap akan bersatu. Bagaimana dengan Mas Dwi Kelono yang pandai menari Klono Suwandono itu?"
 "Halaaaa...sama saja Mbah."
 "Jangan begitu... sering kulihat dia bermain gender dan slompret. Kalau duduk denganmu selalu ingin jejer dan mepet."
 "Saya malah tak enak kalau dia seperti itu. Bukan berarti saya seperti memilih tebu...."
 "Mbah paham apa yang kau harapkan. Hanya doa yang bisa Mbah panjatkan supaya hidupmu bahagia sejahtera..."
Sumirah tetap menunduk kala Mbakyunya menyapa mengajak melantunkan tembang macapat. Hidup tanpa teman pendamping memang sungguh berat. Menjadi pembicaraan tetangga dan teman kadang sungguh menyakitkan.Â