"Nggih niku wau...." (Barusan itu tadi...)
"Kadose kok mboten wonten tiyang estri niki...." (Sepertinya tak ada wanita ini tadi...) Kata Pak Sutak sambil meminta Bu Sutak dan anak-anaknya untuk melihat. Dan semua menggelengkan kepala tak melihat dan mengenal wanita itu.
"Halaaaa.... Mas Ukik mau pamer calon istrinya yang ke duaaaaa...." ledek Bu Sutak.
Setelah menyantap tiga suap nasi, aku pamit Pak Sutak untuk makan bersama keluarga lain yang ikut nyadran. Tentu saja sambil jelalatan mencari wanita tadi. Tak kutemukan di antara ratusan warga yang ikut nyadran.
Kala makan bersama keluarga Pak Tuyar, Mas Buasan, atau pun dengan keluarga lainnya selalu kutanyakan tentang wanita tadi. Bukan hanya penasaran karena senyumnya tetapi aku merasa tak pernah melihat wanita ini seperti juga kebanyakan mereka yang kutanya. Selalu menggelengkan kepala.
Jam 12 siang pemakaman mulai sepi. Semua orang mengikuti sesepuh dan perangkat desa kembali ke desa diiringi seni jaran kencak dan bantengan.
Aku yang penasaran masih termangu dan mencari wanita itu. Teriakan istriku tak kugubris termasuk salah satu putriku yang cukup lantang berseru,"Bapak masih nunggu temannya. Para lelembut...."
Tak mau terbakar teriknya matahari pertengahan musim kemarau di tengah kuburan, aku pun beranjak pulang. Kuraih tas kamera yang terletak di ujung depan sebuah makam. Kala kuangkat tas tampak sebuah kresek putih. Kuambil dan kubuka. Tampak segulung tali atau kain mori pembungkus mayat dan segumpal tanah kuburan. Entah siapa yang menaruh.
Di batu nisan itu tertulis dengan agak kabur: ....wafat Jumat Legi....1976. Kuambil kain mori dan tanah kuburan itu. Ada kepercayaan bisa digunakan untuk sesuatu yang menakutkan. Untuk apa? Biarlah aku yang tahu....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI