Permasalahannya mereka tidak bisa membedakan mana dukun mana paranormal apalagi yang palsu. Terpenting mereka ingin sukses, sekali pun harus membayar atau memberi mahar sejumlah uang yang besar dan syarat yang aneh-aneh. Tak salah jika ada dukun dan paranormal (palsu) yang memasang iklan di media cetak, elektronik, dan media sosial.
Pengalaman Kompasianer
Tahun 2012, sebenarnya ada beberapa Kompasianer yang pernah ajak penulis berkunjung ke wilayah timur Malang dan masyarakat Suku Tengger untuk melihat kehidupan semacam ini. Rupanya setelah sukses tak lagi menampakkan hidungnya apalagi saling sapa lewat SMS kala itu.
Merupakan hal yang kurang bijak dan tak etis untuk menunjukkan pejabat, politikus, artis, atau pengusaha  mana saja yang pernah minta bantuan sesepuh atau dukun untuk berhasil dalam karir atau ekonomi.
April 2019 kemarin, kami mengundang tiga Kompasianer ke tempat yang sama dengan tujuan menunjukkan bahwa kehidupan dan ritual semacam itu masih ada. Dan yang meminta pun bukan hanya pedalaman, orang desa, dan pinggiran tetapi juga orang kota. Membayar? Tidak! Â Meminta balas jasa? Tidak! Apakah yang minta tolong memberi gratifikasi. Ya! Berapa? Mungkin cukup untuk makan tiga orang desa. Tak pernah lebih.
Dua ratus lima puluh juta seperti iklan di atas? Wah sungguh pelecehan terhadap budaya dan adat Jawa yang penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H