Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pertunjukan Hiburan Rakyat Harus Atraktif!

14 Agustus 2019   14:04 Diperbarui: 14 Agustus 2019   21:28 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boleh saja ada komunitas tertentu mengadakan pertunjukan Jazz Gunung di Desa Ngadisari yang jaraknya tak lebih dari 1 Km dari pelataran Bromo. Penyanyinya yang terkenal pun dengan lembut melantunkan lagu Kasih yang ditenarkan oleh Ermy Kulit dan Anthonio Song yang beken di awal 80-an. 

Atau bisa saja sebuah perusahaan besar melakukan promosi dengan mengadakan pertunjukan sebuah grup band ternama di sebelah Ranu Pani di pedalaman menuju Gunung Semeru. Namun apakah bisa menarik perhatian penonton dari masyarakat setempat untuk duduk dengan tenang menikmatinya? Mungkin hanya beberapa saat saja tak lebih dari dua lagu lalu mereka pergi. Panggung pertunjukan pun ditinggal penontonnya.

Demikian juga di sebuah lapangan Desa Sumber Manjung Wetan yang dikenal dengan sebutan atau singkatan Sumawe, di wilayah selatan Malang sebuah perusahaan rokok ternama mengadakan promosi dengan pertunjukan sebuah band ibu kota dengan lagu-lagunya yang hits. 

Ternyata penontonnya tak lebih dari tiga ratus orang. Itu pun kebanyakan tidak menonton untuk menikmati lagu-lagu dengan suara emas mereka, tetapi lebih banyak sekedar melihat dan sambil nongkrong bersama teman atau pacar mereka.

Beda lagi jika di Ngadisari, Ranu Pani, Tosari, Ngadas, Gubuk Klakah, dan Tumpang ada pertunjukan jaran kepang atau kuda lumping, bantengan, dan tayub. Atau pertunjukan orkes dangdut gaya Pantura di sebuah lapangan kota kecamatan. Bahkan sekedar pertunjukan hiburan orgen tunggal dangdut koplo saat ada pesta pernikahan. Tentu penontonnya cukup banyak dan akan menikmati sampai selesai.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Jaran kepang di pinggir sawah. Dokpri
Jaran kepang di pinggir sawah. Dokpri
Menyusuri sawah ladang untuk menonton jaran kepang. Dokpri
Menyusuri sawah ladang untuk menonton jaran kepang. Dokpri
***

Masyarakat kota, pinggiran kota, dan pedesaan atau pedalaman tentu saja beda genre dalam bidang hiburan. Masyarakat kota kehidupannya yang keras dan penuh persaingan, setidaknya ini menurut saya, tentu membutuhkan hiburan yang sedikit lembut yang bisa meregangkan otot dan syaraf yang tegang setelah hidup di jalanan yang panas dan gerah. 

Nonton dan ikut menyanyi di kafe yangmenyajikan lagu-lagu lembut dan romantis atau lagu-lagu yang lagi hit sambil menikmati hidangan adalah lumrah. Bahkan mengeluarkan sekian ratus ribu untuk menonton secara langsung pertunjukan grup band secara live bukan suatu masalah.

Sedang masyarakat pinggiran yang kebanyakan hidup di daerah urban, genrenya pun berbeda. Antara kota dan pedesaan. Namun pengaruh gaya desa masih cukup mendominasi. Maka lagu-lagu yang membuat mereka gembira untuk sekedar melepas kejenuhan dan kepenatan sehari-hari sebagai masyarakat yang kebanyakan bekerja sebagai buruh maka dangdut menjadi pilihan. Termasuk kala ada pertunjukan terbuka di sebuah lapangan. 

Mengapa dangdut kok bukan musik rock yang iramanya sebenarnya juga rancak atau dinamis bahkan kadang menghentak dan bisa menghantar untuk berjoget. Pada awal 80-an kala ada Nicky Astria dan Nike Ardila dua lady rocker ini memang bisa menyihir penggemarnya hampir di seantero Nusantara. Masyarakat kota dan pinggiran.

Saat ini, masyarakat pinggiran yang selera telinganya masih tradisional maka irama dangdut yang rancak dinamis dan menghentak dengan suara kendang dan ketipungnya serta dibalut dengan suara suling nan membuai bisa mengajak bergoyang pinggul dan berjodet. 

Apalagi jika sang penyanyi dan pemain jika berani tampil dengan busana menantang serta ikut berjoget. Tentu ini semakin bisa menyihir penonton untuk bergoyang dangdut. Bukak thithik jooooss..... bukak thithik jooooss..... joget yuuuuuk......

Beda lagi dengan masyarakat pedesaan dan pedalaman yang kebanyakan adalah kaum petani atau pedagang yang ada hubungannya dengan pertanian. Di mana pekerjaan mereka lebih banyak menggunakan otot dan kelelahan secara fisik lebih tampak. Maka hiburannya juga harus yang atraktif di mana para artisnya lebih banyak bergerak dan berjoget.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Jangan heran jika masyarakat lebih senang melihat dan menikmati tari jaran kepang, bantengan, barongan, dan reog. Sebab pada tarian ini tenaga betul-betul tercurah dengan gerak yang atraktif lompat sana lompat sini, disabet dengan pecut atau cemeti, mengupas kelapa dengan gigi, makan bonggol pisang, dan beling. 

Ditambah lagi dengan adanya pembacaan mantra dan pembakaran kemenyan semakin menambah suasana magis dan sakral. Penonton pun semakin penasaran dan terpaku untuk mengetahui apa yang terjadi pada artis atau penari selanjutnya.

Di sisi lain, adanya komunikasi antara artis yang tampil dengan penonton yang sebagian juga merupakan seniman juga. Komunikasi bukan berarti omong-omong tetapi kadang ada celutukan untuk memberi semangat. Misalnya kala ada artis yang dianggap kurang greget ada saja yang nyelutuk 'seruduuuk....', 'sikaaaat....' Maksudnya untuk lebih kalap lagi.

Dan yang paling sering menyuwiti atau mensiuli artis yang kalap untuk lebih 'ndadi' Pengalaman penulis 20 tahun silang kalasedang trance jika ada yang bersiul maka di telinga terasa ada yang berteriak sangat keras dan membuat keseimbangan berkurang. Entah mengapa. Perlu belajar lagi psikologi dari Carl Gustaz Jung.

Bagaimana dengan tayub? Pesinden yang menjadi seorang tayub sebenarnya dan hal berpakain tak jauh berbeda. Hanya saja harus pandai menari atau setidaknya berani berjoged dan diajak joget oleh mereka yang ketiban sampur. Suara emas bukanlah hal utama sekalipun tetap diperlukan.

Pakaian yang sedikit menantang dengan gaya yang atraktif adalah bahasa tubuh yang komunikatif bagi masyarakat pinggiran dan pedesaan dalam mendapatkan sebuah pertunjukan hiburan. Bukan penyanyi tenar dengan suara emas tetapi musiknya tidak dipahami.

Tayuuuub? Joget? Tarik maaaaang.....

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Tarik Caaaak...... Dokpri
Tarik Caaaak...... Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun