Rabu, 18 Juni 2019 pukul 7 pagi.
Pagi itu langit begitu cerah dengan sedikit awan putih yang bergerak pelan ke selatan menuju puncak Mahameru yang tampak gagah berdiri penuh keanggunan. Suhu udara di hape menunjuk angka 14 derajat Celsius sungguh amat dingin.Â
Namun sinar mentari yang mulai memancar di atas pucuk-pucuk pinus meninggal sela-sela dahan dan ranting pepohonan liar di hutan tepi Ranu Pani menghangatkan suasana pagi yang hening.
Tak ada kicauan merdu burung-burung selain kepakan sayap tekukur atau alap-alap yang terbang rendah di atas ladang. Hanya lenguhan sapi dan gonggongan anjing-anjing geladak yang menemani para petani atau pencari kayu yang kadang memecah keheningan alam.
Di lereng bukit sebelah timur Ranu Pani, tampak enam orang petani sedang bekerja merawat ladang kentang dan brambang prey atau daun bawang seluas kurang lebih satu hektar. Sebut saja mereka keluarga besar Pak Suyak, istri, dua anak, satu menantu perempuan dan pria, serta seorang cucu yang baru berumur sekitar 8 bulan.
Sedikit meleset akan merusak akar kentang dan brambang prey. Tubuh semakin terasa hangat bahkan cenderung gerah karena langit amat cerah sehingga sinar mentari langsung menghujam tubuh mereka.Â
Untuk menghindari terik matahari yang menyengat dan dapat membakar dan menghitamkan kulit dan wajah, mereka memakai kaos lengan panjang dan topi. Maka jangan heran jika melihat wajah-wajah masyarakat Suku Tengger pipinya merona merah jambu bak apel ana yang ranum.
Untuk menghilangkan pegal di punggung, setiap satu gulutan atau beberapa cangkulan mereka akan berdiri tegak dan sedikit memutar pinggang agar otot tidak kaku. Sedang putri Pak Suyak dan seorang menantu perempuannya bergantian mengemong cucunya atau menemani bermain di lereng bukit yang curam. Lengah sedikit saja sungguh berbahaya.
Jam 11.30 -- 12.30 siang atau wayah tengange  atau saat matahari menjelang tepat di atas kepala hingga sedikit turun ke barat mereka istirahat untuk menikmati bekal sebagai santap siang.