Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mahabarata, Pendeta Durna Gugur Akibat Hoaks

10 Mei 2019   10:33 Diperbarui: 10 Mei 2019   11:22 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum separuh berlangsung peperangan Barata Yudha antara Kurawa dan Pandawa yang setengah hati, berlangsung tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi panutan gugur satu demi satu secara mengenaskan. 

Hari pertama telah gugur tokoh penuh wibawa justru terkapar pasrah di tangan seorang wanita tanpa bisa berbuat apa-apa selain menunggu kematian dengan mencekam menghadapi kekalahan yang didukungnya, Kurawa.

Setengah hati karena sebenarnya Pandawa enggan berperang melawan saudaranya sendiri dan memilih diplomasi dengan cara apa pun walau pada akhirnya kandas karena tipu muslihat Kurawa. 

Sebuah peperangan emosional karena Kurawa tak ingin kekuasaan Astina jatuh ke tangan Pandawa. Kurawa merasa harga dirinya tercoreng bila Pandawa yang kecil bisa menguasai Astina dan Kurawa yang besar harus menjadi pelengkap saja dalan keluarga Barata.

Memahami kesetengahhatian Pandawa dan ingin segera mengakhiri peperangan, Pendita Durna sang guru Kurawa dan Pandawa menantang Arjuna muridnya terkasih dan terpandai dalam segala hal, termasuk menghadapi wanita.

Sebuah pertempuran yang menyesakkan, Arjuna enggan melawan gurunya sendiri yang sudah renta, uzur, dan congkak! Pendita Durna dibiarkan maju ke tengah gelanggang tanpa lawan selain menghadapi prajurit Pandawa yang pontang-panting. 

Sikap Arjuna yang membiarkan pasukan Pandawa kelabakan membuat Kresna, sang diplomat Pandawa resah.

Tak ingin Pandawa tersungkur hanya karena seorang guru congkak, Sang Kresna pun mengambil keputusan licik untuk memperlemah mental Kurawa. Kresna yang ada di pinggir ladang pembantaian Kuru Setra meminta Werkudoro membunuh salah satu gajah tunggangan ksatria Kurawa yang bernama Aswatama. 

Werkudoro yang sedikit kurang sopan santun namun jujur dan patuh, tanpa ba bi bu be bo langsung menjalankan tugas dengan memanah Aswatama sampai mati. 

Matinya Aswatama membuat pasukan Kurawa terhenyak dan pasukan Pandawa sedikit mencuat kembali. Kresna pun meminta pasukan Pandawa menyerukan 'Aswatama mati....Aswatama mati...Aswatama mati....'

Sekali pun tua dan renta, Pendita Durna berhasil menembus benteng pertahanan paling belakang sendiri dan kini berhadapan dengan para ksatria Pandawa di pinggir Kuru Setra. 

Sungguh mengejutkan dirinya kala di sini Pendita Durna mendengar Aswatama mati. Dalam pikiran Sang Durna, Aswatama yang mati adalah Bambang Aswatama putra tunggal Sang Durna. 

Kelelahan di tengah hiruk pikuknya suara lantang pasukan Pandawa yang berteriak 'Aswatama mati....Aswatama mati...Aswatama mati....' Ia pun turun dari kereta dan mendekati Yudhistira sang satria putih karena kejujurannya.

"Anakku Bambang Aswatama tidak ikut bertempur namun ikut tewas di sini. Benarkah Aswatama mati?"

Sang satria putih hanya menunduk ragu untuk mengatakan. Sang Durna pun semakin penasaran. Sikap diam Yudistira dianggapnya sebuah kebenaran. Sang Durna pun bertanya kembali dengan nada lembut "Benarkah Aswatama mati...?"

Yudistira yang dilanda kegalauan pun menjawab lembut "Esti Aswatama pejah" Sebuah jawaban yang menghenyak dan melumpuhkan Sang Durna yang sudah renta dan berkurang pendengaran dan nalarnya.

Apa yang dikatakan Yudistira "Esti...Aswatama pejah" dalam Bahasa Jawa sebenarnya lebih berarti "Gajah Aswatama mati" Sebab esti artinya gajah. 

Namun daya tangkap pendengaran Sang Durna yang sudah turun dan di tengah hiruk pikuknya suara jeritan kekalahan prajurit yang sekarat dan teriakan kesombongan para pemenang, Sang Durna menangkap ucapan Yudistira dengan "Esti...Aswatama pejah" yang artinya 'Benar..... Aswatama mati' Sang Durna menganggap Bambang Aswatama anaknya telah tewas!

Siapa pun tentu akan berduka jika mendengar kematian anaknya, apalagi dengan cara yang tak diharapkan. Durna pun sontak duduk dalam kekalutan di depan Pandawa.

Pemuda Drestajumena melihat lelaki senja tak berkutik langsung mengambil senjata dan menebas leher Sang Durna hingga tewas secara tragis. Semua kecewa. Tak terkecuali Yudistira yang termakan bujukan halus Kresna untuk secara tidak langsung menyebarkan berita bohong tentang kematian Aswatama. Gajah Aswatama.

Titik air mata tak akan menghapus sebuah kebohongan atau hoax sekecil apa pun yang bisa merusak tatanan dan etika dalam pergaulan di mana pun termasuk dalam kehidupan politik bernegara. Kresna, Sang Diplomat mungkin hanya bisa tersenyum dalam hati saja dan tak mungkin menunjukkan kegembiraanya di depan umum. 

Selain para prajurit yang ada di lapangan merasa gembira dan bersorak sorai merayakan kemenangan dengan kematian Durna yang dianggapnya guru licik dan agak culas. 

Para prajurit tentunya tak menyadari bahwa mereka telah termakan kabar bohong atau hoax yang dihembuskan seorang pemimpin yang seharusnya memberi contoh atau sebagai panutan, yakni Kresna!

0 0 0 0

Hasrat menjadi pemimpin adalah panggilan hati untuk membawa kemakmuran, kesejahteraan, dan kedamaian bagi mereka yang dipimpinnya. 

Kala keinginan ingin diraih maka sikap jujur dan kerendahan hati harus diutamakan. Bukan dengan cara licik untuk menjatuhkan lawan demi sebuah kemenangan yang justru memporakporandakan kehidupan.

Haruskah kejujuran dan kerendahan hati dikesampingkan?

Cara tidak membenarkan tujuan.

0 0 0 0

Salam....   rahayu...  rahayu... Teguh wiyono....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun