Di usianya yang hanya selisih sekitar 12 tahun dengan penulis, namun ketegaran dan keperkasaannya nampak demikian menyeruak di balik tubuhnya yang kecil dengan kerut-kerut otot tanda perjuangan untuk sekedar bertahan hidup.
Senyumnya yang tulus menggambarkan bagaimana ia hidup tanpa beban pikiran yang menggoda selain kepasrahan akan narima ing pandum. Pasrah pada pemberian Tuhan yang tak akan membiarkan umatnya menderita.
Angan pun melayang mundur ke Bromo, mengingat kembali pada Pak Misan seorang petani dan pemilik kuda yang digunakan untuk mencari nafkah dengan disewakan pada wisatawan yang ingin naik kuda dan sekedar berfoto ria. Di usia yang mendekati 80 tahun, sebagai seorang petani kentang sebenarnya ia sudah hidup berkecukupan.
Namun di saat, ladangnya sudah tak memerlukan banyak tenaga karena mendekati panen, P. Misan hanya mengandalkan putra-putranya untuk mengolah. Ia sendiri, mencari tambahan penghasilan dengan menyewakan kuda di sekitar kaldera Bromo.
Rejeki tak dapat diukur dan dinanti. Kadang ia mendapat sertus ribu sehari. Namun sering juga ia tak mendapat serupiah pun. Namun ia tetap tersenyum walau tak bisa disembunyikan betapa ia tetap berharap saat nanti akan mengantongi rupiah yang diharapkan.
Bisa bekerja dan tertawa atau tersenyum manis bersama orang lain adalah kebahagiaan pula. Sekali pun kita sebagai lelaki di ujung senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H