Mencari, melatih, dan mengorbitkan seniman mulai dari usia dini bukanlah hal yang mudah. Apalagi seniman tradisional. Perkembangan zaman ke arah dunia teknologi digital yang semakin mendengkeram membuat para pelaku seni harus berjuang dengan keras bagaimana seni tradisional tetap bertahan di hati masyarakat.
Tantangan terberat adalah dari keluarga sendiri yang kurang mendukung sepenuhnya seorang anak terjun ke dunia seni. Apalagi jika menyangkut tentang masa depan dalam hal ini sebagai mata pencaharian. Maka seniman boleh dikatakan madesu (masa depan suram) sekalipun saat latihan dan tampil bisa membuat higam (hidup gembira awet muda).
Memang keliru jika seni dikaitkan dengan masa depan di mana seni digunakan sebagai sarana untuk mencari nafkah. Sebab seni adalah ungkap rasa dan hati dalam gerak dan irama untuk membangun atau menciptakan sebuah keindahan dalam berbudaya.
Dari sepuluh ribu anak atau seribu remaja dan kaum muda yang terjun menekuni dunia seni mungkin hanya akan ditemukan seorang  bakal seniman. Dari seratus ribu orang tua mungkin hanya satu keluarga yang mau mengantar anaknya menekuni seni tradisional.
Salah satu di antaranya adalah pasangan suami istri dari Desa Pakis Kembar Malang. Pasangan seorang seniman tradisional (suami) dan seorang penjual makanan atau membuka warung (istri) setiap minggu selalu rajin mengantar salah satu putranya yang masih kelas 1 sekolah dasar untuk berlatih menjadi seorang dalang wayang kulit.
Mungkin darah seni dari sang ayah yang mengalir ke anak usia dini ini, sebut saja namanya Budi, amat tertarik menjadi seorang dalang. Tentu saja ayah ibu mendukungnya, termasuk paman, dan saudara-saudaranya yang merupakan keluarga seni tradisional.
Setiap minggu, Budi berlatih menjadi dalang di Padepokan Seni Mangun Darmo di Desa Tulus Besar Tumpang Malang dengan diiringi karawitan oleh kaum kerabatnya. Pelatihnya adalah Ki Supriyono adik ipar dari Ki Soleh Adipramono pandega padepokan.
Tanpa malu dan ragu, Budi terus berlatih menarikan wayang kulit dengan suluk yang masih parau sekalipun kadang digoda dengan guyon pari kena.
Sang ayah dan ibu terus mendukungnya dengan senyuman bangga. Demikian juga beberapa penari yang kala itu sudah selesai latihan, atau para mahasiswa dari Muangthai yang penulis antar untuk belajar seni bantengan dan jaranan yang membumi di wilayah Tumpang dan Poncokusumo atau wilayah timur Malang.
Ki Supriyono sendiri dengan telaten memberi contoh bagaimana menggerakan atau menarikan gunungan dan Kertomarmo serta Setyaki pada saat itu. Budi sendiri selalu melihat kea rah Ki Supriyono kala merasa ragu akan gerak gemulai tokoh wayang yang dimainkannya.
Dua jam berlatih bukanlah waktu yang pendek bagi seorang Budi yang menurut para psikolog dan pendidik waktunya bermain. Di sisi lain ini adalah masa usia emas untuk menanamkan pendidikan termasuk di bidang seni. Maka ketika selesai latihan, hadiah utama adalah ciuman dan dekapan hangat orangtua dan tepuk tangan dari para penonton dan kami pemerhati seni tradisional yang selalu berharap lahirnya seniman-seniman tradisional yang handal dan tahan banting.
Rahayu.... rahayu...
Salam budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H