Ken Dedes, gadis belia putri Mpu Purwa seorang pendeta Buddha Mahayana di Desa Panawijen wilayah Singosari kecantikannya memang luar biasa. Bukan sekedar cantik, namun sebagai putri  seorang pendeta  berwibawa, Ken Dedes juga sangat patuh beribadah serta menjalankan ajaran agamanya.
Karena ketaatan pada ajaran Sang Budha serta kewibawaan ayahandanya sebagai seorang pendeta yang tau bagaimana harus menjaga kehormatan keluarga, membuat para lelaki yang tertarik pada Ken Dedes hanya bisa menelan ludah menahan nafsu kerendahan yang menggelora menyesakkan dada.
Adalah sebuah keindahan dan kehormatan bagi setiap perempuan yang harus menjaga kesucian dengan mandi di sebuah mata air ( Jawa: belik ) yang banyak mengalir di desa tersebut. Rupanya ritual pembersihan diri yang sering dilakukan para gadis muda Buddhis menjadi daya tarik sendiri bagi lelaki mata jalang yang suka mengintip. Tak terkecuali Tunggul Ametung, Sang Akuwu perwakilan Kedhiri di tanah Tumapel.
Sebagai istri Tunggul Ametung  lalu menjadi istri Ken Angrok yang berhasil menghabisi Tunggul Ametung karena birahi Ken Angrok dan menjadi penguasa Singasari maka Ken Dedes menurunkan raja-raja di Jawa dan menguasai Nusantara.
Terlepas dari kehidupan kelamnya sebagai korban lelaki jahanam, Ken Dedes bukanlah wanita yang suka memamerkan kemolekannya. Ketaatan pada agama bukan sekedar putra seorang pendeta, serta ketenangannya dan sikapnya nan bijaksana dalam menghadapi kehidupan penuh gejolak, Ken Dedes menjadi lambang  Dewi Kebijaksanaan bagi pemeluk Buddha Mahayana pada jamannya.
Baca juga: Ken Dedes, Wanita Super Sepanjang Sejarah
Ken Dedes, Sang Prajna Paramita digambarkan dalam bentuk sebuah arca yang sedang bersemedi dengan wajah tenang penuh keteduhan, kedamaian, dan kebijaksanaan ( Sumber: https://id.wikipedia.org ).
Sebagai tanda penghormatan pada Ken Dedes, pemerintah Kota Malang membangun sebuah arca Prajna Paramita tepat di tapal batas utara kota dan kabupaten Malang. Patung Ken Dedes setinggi sekitar 8m berada di sisi timur jalan tepat menghadap ke barat tempat Desa Panawijen kelahiran Ken Dedes.
Patung Ken Dedes ini 90 persen bentuk dan wajahnya sama seperti arca Prajna Paramita yang ada di museum nasional Jakarta. Hanya warnanya saja berbeda yakni warna perunggu bukan warna abu-abu batu seperti aslinya. Tiga tahun yang lalu sempat diganti warna putih bergaya Bali dengan maksud biar menarik perhatian. Kenyataannya justru menghilang kesan anggun Ken Dedes. Â Penulis sendiri sempat menyampaikan ketidakpuasan pada penjaga atau atas perubahan warna putih tersebut. Dan, syukurlah kini kembali ke warna asal merah coklat seperti perunggu.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat "Si Berandal" Ken Angrok, Sudah Saling Mencintai dengan Ken Dedes?
Sang Prajna Paramita tubuhnya terlalu ceking  serta dalam melakukan dharmachakra-mudra tidak bersandar pada sandaran atau stella. Selain itu, Ken Dedes dalam berbusana menggunakan kotan atau kemben yang menutupi payudaranya.  Tentu saja keadaan ini 'memutar balikkan kisah atau sejarah sebenarnya.'  Entah karena terlalu rikuh dan pekewuh untuk menampilkan Ken Dedes dengan payudaranya yang montok atau ada pandangan lain atau boleh jadi sang kreator dan seniman tidak tahu sejarah.Â
Padahal, payudara montok Ken Dedes bukanlah sebuah penampilan vulgar apalagi untuk menggoda. Sebab payudara merupakan lambang kehidupan yang diberikan sang ibu pada keturunannya. Ibu ( wanita ) adalah dewi kebijaksanaan yang memberi pendidikan pada manusia.
Patung Ken Dedes di depan gerbang masuk kantor pusat pemerintahan Kota Malang ini memang tak terlalu besar dan menarik. Apalagi di sebelah 5m sisi kirinya ada Tempat Penampungan Sampah ( TPS ). Namun bukan berarti peninggalan sejarah harus diubah sesuai dengan kemauan dan kondisi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H