Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Mas, Rumah Saya Mana?"

24 November 2018   21:39 Diperbarui: 24 November 2018   22:06 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: rumahdijual.com

1985. Sebagai seorang pemuda idealis bersama tiga orang guru yang sama-sama masih lajang memutuskan mengambil atau kredit rumah di Perumnas Sawojajar. Sebuah komplek perumahan rakyat yang kala itu hanya dibangun rumah sederhana tipe 21/105 dengan tembok conblock atau batako dan atap asbes gelombang.

Kami mengambil rumah tipe kecil karena menyesuaikan dengan gaji guru yang saat itu kami terima hanya sebesar 90 ribu perbulan. Harga tunai rumah saat itu 3.600.000 rph yang tidak boleh dibeli tunai. Untuk uang muka rumah sebesar 400.000 rph yang dapat dicicil 20 X  sebesar 20.000 rph. Sedang cicilan perbulan sebesar 33.100 selama  15th.

Alasan ke dua kredit di perumnas karena saat itu permohonan kami tuk kredit Vespa Strada bagi guru ditolak dealer. Walhasil, ketika para guru lain berangkat kerja dengan naik Vespa kami hanya naik sepeda pancal.

Malu?  Enggaklah....sebab ketika Vespa sudah lunas dan mulai rewel justru rumah kami yang mungil dan menurut orang lain seperti pagupon atau sangkar burung merpati sudah mulai tampak sedikit lebih baik. Setidaknya tidak kalah dengan kamar kos dengan perlengkapannya.

Ada yang cukup menarik ketika kami mendapat kunci rumah pertama kali dari Pak Cosmas Batubara selaku Menteri Perumahan Rakyat karena dari 96 yang kreditnya dikabulkan ada 12 pemuda. Enam orang guru, tiga orang polisi, dua dosen, dan seorang penjahit.

Setelah sebulan mendapat kunci, saya menempati rumah tersebut walau dalam satu blok yang terdapat 40 rumah masih dihuni sekitar 8 orang. Sedang saat itu baru dibangun 6 blok yang berjauhan. Padahal luas komplek perumahan sekitar 26 ha merupakan bekas lapangan terbang jaman Jepang. Kala malam bagaikan tidur di padang pasir yang penuh semak dan serangga serta ular.

Bentuk rumah, model pintu dan jendela, serta jalan seluas 4,5m yang sama dan belum ada nama membuat kami sering kesasar ke blok lain.

Mungkin karena lingkungan yang masih sepi, menyeramkan, belum ada aliran listrik dan air,serta jauh dari transportasi umum dan pasar sehingga membuat mereka yang sudah mendapat kunci enggan menempati.

Oktober 1987 aliran listrik dan air mulai masuk ke tiap yang telah dihuni. Mulai saat itulah para pemilik rumah pindah ke rumah masing-masing. Itu pun dengan sedikit ancaman pihak Perumnas VI akan mencabut subsidi serta harus membayar pemasangan meter listrik dan air. Hal ini membuat keder mereka yang telah mendapat rumah subsidi ini.

Suatu minggu, saat saya dan tiga orang yang sedang  menanam bunga di depan rumah ada seorang bapak dengan dua putrinya yang manis, mendekati saya dan bertanya: "Mas....rumah saya yang mana?"

Sontak kami berempat tertawa. Saya pun menjawab, "Hla ya ga tau Pak..... Dulu kan waktu dapat kunci diberitahu bloknya"

Bapak ini cuma garuk-garuk kepala lupa bloknya sedang putrinya tentu saja senyum kecut malu-malu.

Tahun 2000, cicilan sudah lunas. Rumah kami yang dulu seperti pagupon kini cukup besar menurut ukuran seorang guru. Soal harga? Tentu sekarang lebih dari 200 kali lipat. Luar biasa!

Jangan sepelekan rumah bersubsidi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun