Seorang kakek adalah pria yang berumur lebih dari 60 tahun atau pun yang telah mempunyai cucu. Â Kebanyakan pria enggan disebut kakek, apalagi lansia. Karena sekalipun sudah berumur lebih dari 60 tahun karena masih bertenaga dan bersemangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Boleh juga, namun jangan sampai mendapat sebutan kakek STNK. Semakin Tua Nakalnya Kumat.
Apa ada sih kakek nakal dan nakalnya bagaimana? Nakalnya anak-anak, remaja, dan kakek tentu berbeda, sekalipun kadang mirip jika si pribadi tersebut sejak kecil memang salah asuh. Sehingga sejak anak-anak hingga tua kadang waras kadang kumat. Mulai dari tangannya yang nggrathil, mulutnya yang asal njeplak, matanya yang suka lirak-lirik daun muda. Manusiawi. Karena manusia tempatnya salah. Oh tidak! Bagaimana pun juga jika sudah berumur lebih dari 60 tahun, seharusnya sudah banyak belajar dari pengalaman.Â
Dalam budaya Jawa disebut madeg mandhita. Artinya sebagai orang yang sudah tua dan pengalaman yang ada seharusnya berdiri atau bersikap sebagai seorang pendeta. Orang yang menjauhi hal-hal yang duniawi dan lebih memusatkan diri sebagai orang yang pantas untuk memberi nasehat dan suri teladan bagi kaum muda.
Haruskah demikian bagi mereka yang sudah tua? Tentu saja. Karena secara kodrati alamiah sesuai dengan ciri-ciri fisik seorang kakek atau seusia kakek. Mari kita lihat ciri-ciri fisik kakek.
Apa yang harus dipikirkan adalah hal-hal yang bersifat rohani, atau yang bersih syukur jika yang putih suci. Bukan hal-hal yang duniawi seperti rambutnya yang hitam dulu. Ambisius akan kedudukan dan kekuasaan serta kekayaan secara pasti harus ditinggalkan.
Mata rabun pandangan berkurang.
Kelopak hitam mata berkurang bahkan sedikit memutih dan pandangan mulai kabur. Artinya yang harus dilihat adalah ke dalam diri sendiri, batin dan mata hati. Bukan melihat dunia luar yang gemerlap dan menyilaukan sehingga lupa diri. Melihat diri sendiri dan memeriksa batin untuk menyadari kesalahan masa lalu sebagai pintu tobat untuk tidak berbuat salah lagi.
Pendengaran berkurang.
Sudah waktunya setiap saat untuk mendengarkan suara hati daripada bisikan-bisikan maut yang menggoda kehidupan yang justru akan menjerumuskan ke dalam kenistaan yang memalukan.
Pipi kempot, lidah kelu, dan mulut terbuka sulit bicara jelas.
Tak perlu lagi bicara lantang dan keras dari pikiran yang penuh keinginan duniawi dan bisikan di luar diri kita. Bicara sedikit dengan lembut dari suara hati terdalam untuk membimbing dan menuntun kaum muda menjalani kehidupan yang benar. Dan senantiasa menebarkan senyum kebahagiaan kepada siapa saja yang ditemui.
Kumis memutih.
Apa yang terucap adalah kebenaran yang bersih dan suci. Bukan ungkapan kemarahan lepas kendali dan tanpa bukti selain kebencian tanpa dasar.
Gigi keropos, tanggal, dan ompong.
Kecap dan rasakan sisa-sisa umur untuk hidup lebih bermakna daripada menelan atau mengunyah kerasnya kehidupan yang sering dikejar demi kepuasan atau sekedar kesenangan duniawi. Kita sudah tidak mampu melakukan hal itu. Bisa saja kita memasang gigi palsu. Namun tak akan merasakan nikmatnya!
Sudah saatnya menjelajahi hati diri sendiri untuk menyadari asal dan tujuan hidup. Bukan lagi menjelajahi dunia yang mempesona namun sering membuat lupa arti dan tujuan hidup sebenarnya.
Bersyukurlah jika bila sudah menjadi kakek atau seusia kakek namun kita tidak terlalu banyak memiliki tanda-tanda fisik alami seperti di atas. Bahkan semangat hidup kita tetap tinggi untuk terus berkarya menjalani dan mengisi kehidupan.
Namun kakek adalah seorang kakek yang bukan sekedar tua karena usia. Budaya Jawa mengatakan: 'yen sepuh kudu bisa dadi sesepuh lan pinisepuh' Artinya, kalau sudah tua harus bisa dituakan dalam arti bisa dihormati sebagai orang tua karena ucapan dan perbuatan atau tingkah lakunya yang memberi suri tauladan bagi kaum muda.
Rahayu.....rahayu....rahayu....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H