Selasa Kliwon, 2 Oktober 2018
Bulan Oktober, seperti biasa merupakan puncak musim kemarau seperti yang biasa kami rasakan di wilayah Gunung Bromo dan Semeru. Terik matahari cukup menyengat berbaur dengan semilirnya angin pegunungan yang cukup dingin sehingga udara masih cukup terasa segar.Â
Sekali pun pemandangan di perbukitan yang biasanya menghijau kini tampak demikian kering.Â
Beberapa petak lahan di tebing berundak memang masih tampak cukup hijau. Ini karena ditanami kentang yang masih muda namun tampak subur karena kerajinan para petani yang selalu menyirami dengan tekun.
Petak-petak ladang yang biasanya tampak ada beberapa petani dari keluarga yang bekerja, kini tampak sepi. Tak ada seorang petani pun yang ada di lahan. Apalagi di tepi hutan yang biasanya ada beberapa ibu dan wanita mencari kayu bakar.Â
Sebab seluruh warga Desa Ngadas kini semua berkumpul di pekuburan umum yang ada di sebelah timur desa atau tepatnya di depan Pura Hindu dan di sebelah bawah  Vihara Paramitha.
Sekalipun lebih dari dua ribu orang yang merupakan penduduk Desa Ngadas, serta para sanak keluarga dari desa tetangga berkumpul jadi satu di lahan yang tak lebih 100 are. Namun suasana demikian hening dan khidmat.
Pak Mujianto selaku Pejabat Kepala Desa Ngadas, Camat Poncokusumo, Pak Tomo Dukun Adat Ngadas, dan beberapa pejabat dari Bhabinsa serta Polsek Poncokusumo, duduk di panggung depan pemakaman yang menghadap ke selatan tepat di depan puncak Mahameru.Â
Penulis sendiri duduk di deretan paling selatan pemakaman tepat di tepi bibir jurang sedalam 20m bersama kerabat yang memakai pakaian dan udeng (ikat kepala) khas Tengger. Kecuali penulis, kali ini memakai batik hijau.
Diiringi pembakaran dan kepulan asap kemenyan nan harum dan sapaan lembut Mbah Dukun yang berseru... "Hong ulun mandara basuki langgeng...." Seluruh warga menjawab dengan lembut pula, "Langgeng basuki...."Â
Selesai pembacaan mantra, acara dilanjutkan makan bersama secara hening dengan keluarga dan kerabat di atas pemakaman keluarga yang merupakan simbolis makan bersama para leluhur yang selama bulan Karo para leluhur diundang berkumpul bersama keluarga untuk berpesta.Â
Penulis sendiri kali ini makan bersama dengan seorang tamu gadis cantik dari Madiun yang tertarik dengan acara ini. Sebuah kejutan karena gadis milenial yang biasanya sudah tak biasa lagi berbahasa Jawa justru amat fasih dengan bahasa halus atau krama  inggil.Â
Sedang para pejabat makan bersama di panggung. Kurang lebih lima belas menit kami bersantap bersama keluarga dan leluhur di pemakaman, kami kembali ke desa secara bersama-sama.Â
Bagi leluhur yang telah kami hantar kembali setelah menemani kami selama 15 hari di bulan nan sakral, Bulan Karo, di atas makam kami beri sesaji seperti santapan saat masih hidup di dunia.Â
Makan bersama keluarga dan leluhur di pemakaman ini, merupakan pesta perpisahan dengan para leluhur yang akan kembali ke alam swargaloka dalam suasana yang bahagia.
Penulis kali ini kembali ke rombongan bersama Mbah Dukun dan P. Mujianto selaku pejabat kepala desa. Kami sebut pejabat kepala desa, karena pada 11 Nopember 2018 nanti akan ada pemilihan lurah baru.
Selanjutnya di rumah kami masing-masing diadakan pesta keluarga dengan sambil saling beranjangsana ke setiap keluarga dan kerabat. Sebuah pesta nan meriah karena setiap keluarga menyediakan aneka masakan, makanan, dan buah-buahan serta pakaian sebagai sesaji bagi para leluhur serta seluruh anggota keluarga.Â
Masakan, makanan, dan buah-buahan bukan hanya diperuntukan bagi keluarga dan leluhur saja, tetapi juga dihidangkan bagi para tamu. Siapa saja yang diundang wajib memakan dan tidak boleh menolak.
Tuan rumah pun mempersilakan dengan tetap duduk di kursi tanpa berjabatantangan atau salaman apalagi menghantar tamu. Ini bukan hanya pada saat hari raya atau hajatan tetapi juga pada saat kita bertamu. Bagi yang tidak biasa tentu terasa janggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H