Siapa yang tak mengetahui Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, sebuah wilayah dataran tinggi yang membentang luas di empat kabupaten yakni Malang, Lumajang, Probolinggo, dan Pasuruan?Â
Keindahan alam dengan gugusan beberapa gunung dari yang terkenal seperti Bromo, Semeru, Batok, Widodaren, Kursi, dan gunung-gunung kecil di sekitarnya amat mempesona siapa pun yang memandangnya.Â
Kesuburan tanah perbukitan dengan lahan-lahan berundak (terasering) membuat wilayah ini sesuai dengan yang disebut dalam ajaran Jawa, yakni gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharjo. Artinya tanah yang subur membuat para warganya hidup dalam kemakamuran serta kedamaian dalam tatanan hokum yang berlaku.Â
Kearifan dan keunikan budaya lokal masyarakat Suku Tengger dengan berbagai upacara tradisional yang relegius semakin menguatkan citra wilayah ini sebagai nirwana yang ada di Pulau Jawa. Apalagi dengan sakralitas Gunung Bromo dan Semeru yang masih melekat kuat di masyarakat Suku Tengger.Â
Keadaan inilah yang membuat daya tarik masyarakat luar termasuk mancanegara untuk mengunjungi wilayah ini. Pemerintah pun menetapkan wilayah ini sebagai daerah tujuan wisata dengan salah satu tujuannya untuk meningkat pendapatan nasional termasuk juga lebih mengangkat perekonomian masyarakat setempat.Â
Dalam sepuluh lima belas tahun terakhir, perubahan kehidupan masyarakat pun terlihat jelas. Dari perilaku ekonomi, sosial, dan budaya yang arif mulai bergeser dalam kehidupan masyarakat masa kini.
Secara ekonomi bahwa kehidupan sebagian besar masyarakat Suku Tengger bisa dikatakan amat tinggi daripada wilayah lain. Namun, di sisi lain kehidupan sosial dan budaya juga mulai tergerus budaya luar. Upacara atau ritual agung yang bernuansa religius kini bergeser sedikit demi sedikit menjadi sebuah acara yang bernuansa profan dan lebih mengarah pada sebuah pertunjukan. Bisnis wisata. Pedih.
Jam 14.35
Setelah dua jam mengikuti upacara pengukuhan 'dukun adat baru' di Pura Agung Poten di bawah kaki puncak Gunung Bromo dan Batok yang dipimpin oleh Pak Sutomo, seorang Dukun Pandita dari Desa Ngadisari, Probolinggo dilanjutkan melarung sesaji ke kawah Gunung Bromo saya pulang dengan kegundahan hati akan suasana kehidupan masyarakat Suku Tengger saat ini.
Upacara yang saya ikuti boleh dikatakan masih cukup khidmat dan agung, namun di sebelah Pura Agung Poten suasana jauh berbeda. Puluhan lapak makanan dan mainan pedagang kaki lima, mobil wisatawan, raungan sepeda motor trail, dan beberapa mobil pribadi yang sengaja menerobos batas masuk wilayah sakral telah mengganggu sakralitas suasana di sini.
Di bibir kawah Bromo pun, menunjuk kesedihan yang cukup menusuk hati. Beberapa orang mempertaruhkan nyawanya demi mendapat sesaji yang dilemparkan para warga yang akan mengikuti Upacara Yadnya Kasada. Bila dua puluh tahun yang lalu, kegiatan ini adalah untuk mendapat berkah dari sesaji, maka pada saat ini bergeser menjadi peminta-minta ketika sesaji masih akan dilempar. Miris...
Dalam perjalanan pulang dengan sepeda motor saya sudah sampai di wilayah 'pasir berbisik' sebuah tempat yang indah di tengah lautan pasir sebelah tenggara kaldera. Puluhan tenda dengan umbul-umbul  sponsor dan mobil panitia berjejer mempersiapkan acara 'pertunjukan' Upacara Yadnya Kasada yang akan dilaksanakan Jumat, 29 Juni 2018 ini.
Beberapa mobil dan puluhan sepeda motor wisatawan pun menyebar parkir di wilayah ini, sedang para penumpangnya sibuk mengabadikan kenangan indah yang mungkin tak akan dialami lagi. Dengan berbagai pose mereka berfoto  tanpa memperhatikan lingkungannya.Â
Saya hanya mengamati sambil tersenyum dalam hati ketika beberapa orang sedang sibuk membuat dokumentasi dengan latar belakang seorang warga setempat yang sedang terbaring di sebelah tempat sampah di tengah padang pasir. Aneh...
Hati pun berbisik untuk mendekati seseorang yang terbaring tersebut, dan ketika saya mendekati justru yang berfoto ini malah menjauh. Alangkah terkejutnya ketika saya dekati ternyata orang yang terbaring ini sedang tergolek lemas tak sadarkan diri dengan muntahan makanan di mulut dan hidung. Lendir memenuhi sebagian wajahnya. Saya pun berteriak lantang "Ya Tuhan... siapa lagi yang kutunjukkan padaku seperti ini...?"
Kudekati wisatawan dari Jakarta (menurut pengakuannya) yang tadi berfoto  dan bertanya mengapa diam saja melihat ada orang yang seperti ini. Mereka terbengong-bengong dan hanya menjawab "tidak tahu".Â
Ah, mungkin kehidupan Jakarta secara tak sengaja mencipta mereka jadi seperti ini. Spontan, saya pun mencegat beberapa kendaraan untuk minta bantuan, rupanya beberapa wisatawan keder juga melihat penampilan saya yang lusuh sehingga mengambil jalur kiri atau kanan memacu kendaraannya.Â
Beberapa motor yang tak berani melarikan diri di pasir yang terurai karena takut terpeleset berhenti namun tak bisa memberi pertolongan. Maklum mereka wisatawan, ada yang dari Solo, Jogja, Bogor, Bali, dan Kalimantan. Namun, ketika kutanya tak ada seorang paramedis pun. Jadi mereka hanya menonton saja aku yang kebingungan.
Lebih menyesakkan lagi ada serombongan wisatawan dengan mobil dinas kesehatan dan pertolongan yang secara jujur tak bisa memberikan pertolongan karena kendaraannya sedang digunakan (berwisata).
Hati terus menjerit minta pertolongan Tuhan, seperti ketika 8 tahun yang lalu  saat kami sekeluarga mengirim masker dan terjebak di sini, di tempat yang sama ini, saat Gunung Bromo meletus 2010.Â
Jawaban Tuhan, mulai nampak ketika saya membentak dan menyuruh salah satu pengunjung untuk menghubungi panitia yang hanya berjarak 1 km dari kami. Namun jarak yang tak begitu jauh bukanlah mudah dilalui di padang pasir seperti ini.
Sungguh menyenangkan ketika mobil SUV milik panitia datang, namun anehnya di baknya terdapat mesin genset. Sehingga harus kembali menurunkan genset dan datang lagi untuk mengangkat korban.
Dengan mobil SUV milik Departeman Kehutanan, korban dibawa ke tempat pertolongan pertama untuk ditangani secara medis. Semoga segera sembuh dan Sang Ilahi memberikan yang terbaik.
Jam 18.05
Saya sampai di rumah, dari beranda atas kulihat bulan merah menjelang purnama bersembunyi di balik saputan mendung tipis tepat di atas puncak Maha Meru. Aku tak tahu, apakah bulan tersipu malu atau senyum sedih melihat kejadian ini. Seorang yang papa nestapa terbuang di sisi bak sampah padahal hidupnya di tanah gemah ripah loh jinawi.
Catatan tentang korban:
- Wanita, usia lebih kurang 50 tahun.
- Dari mulut dan hidung keluar lendir dan kunyahan makanan.
- Terdengar suara ngorok dan nafas agak tersengal.
- Bola mata diam.
- Denyut nadi (tangan kiri) di bawah normal, sekitar 49 denyutan per menit.
- Kaki dan tangan kiri cukup kaku.
- Tak bisa diajak komunikasi.
Dugaan saya sebagai awam, dia mendapat serangan jantung atau stroke. Oleh sebab itu saya tak berani mengambil tindakan P3K gegabah dengan karena khawatir bahwa korban serangan stroke bisa semakin fatal jika harus digerakkan tubuhnya.
Saya mengucapkan :
- Mohon maaf kepada para wisatawan yang saya hadang perjalanannya untuk minta bantuan.
- Mengucapkan terimakasih kepada wisatawan  yang peduli sekalipun tak tau harus berbuat apa, serta kepada yang telah memberi tissue dan sebotol air minum dan sudi memberitahu panitia.
- Terima kasih pula kepada wisatawan yang mengabadikan dan memberikan foto ini. Foto ini bukanlah selfiria, tetapi dimaksud untuk menunjukkan agar kita lebih peduli lingkungan dan sesama.
- Terimakasih kepada panitia dan petugas Jaga Wana dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Rahayu....rahayu...rahayu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H