Menjadi pemimpin, bagi seseorang mungkin salah satu ambisi yang harus dicapai. Termasuk dalam hal yang kecil sekalipun, misalnya menjadi ketua kelas, ketua paguyuban PKL, atau ketua komunitas pecinta hewan. Mungkin yang paling dihindari hanya menjadi ketua RT dan RW. Alasannya terlalu sibuk bekerja dan tidak mendapat keuntungan, sebaliknya sering disindir dan dikritik. Bahkan kalau ada warganya yang terjerat kasus hukum malah kadang ikut diselidiki oleh aparat keamanan.
Menjadi seorang pemimpin memang bukan hal yang mudah, menyatukan berbagai pandangan dan pendapat dari berbagai macam golongan dan kelompok sesuai dengan misi dan visi organisasi yang dipimpinnya.
Menjadi ketua kelas belum tentu bisa menjadi ketua OSIS. Bisa menjadi ketua salah satu unit kegiatan mahasiswa belum tentu bisa menjadi ketua BEM. Bisa menjadi lurah belum tentu bisa menjadi camat. Bisa menjadi walikota belum tentu bisa menjadi gubernur. Bisa menjadi gubernur belum tentu bisa menjadi presiden.
Dengan alasan terakhir inilah, maka ketika Gubernur DKI Joko Widodo akan maju menjadi presiden di tahun 2014 banyak orang yang menyangsikan dan tidak senang. Dalam kampanye hitam yang dilakukan secara tidak langsung dalam sosialisasi Kurikulum 13 bagi guru dan pertemuan sebuah organisasi yang penulis ikuti, seorang menteri saat itu dengan lantang mengatakan 'sebagai walikota Solo seorang Jokowi hanya memimpin 3 kecamatan. Dan sebagai gubernur DKI, Jokowi belum teruji sepenuhnya....'
Maka ketika Jokowi berhasil duduk di kursi RI 1, banyak orang yang tidak setuju tetap menunjukkan ketidaksenangannya. Bahkan ketika prestasi telah ditunjukkan, nilai minus akan selalu ditonjolkan dengan berbagai cara yang tidak bijak. Termasuk para tokoh yang seharusnya menjadi panutan.
Mengkritisi bolehlah. Menyindir secara halus bisa dmaklumi. Tetapi menghujat dan menghujat bagai menusukkan tombak secara pelan untuk membunuh karakter adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu dilakukan.
Apa yang dialami Presiden Jokowi, sebenarnya juga pernah dialami presiden kita terdahulu. Mari kita lihat.
Soekarno
Sebagai seorang pejuang yang keluar masuk penjara dan seorang proklamator kemerdekaan, bangsa Indonesia berharap pada Beliau bisa membawa kesejahteraan dan kemakmuran. Namun bukanlah hal muda untuk menyatukan negeri yang multi etnis ini. Pemberontakan sana sini yang menguras pikiran, tenaga, dan perekonomian yang masih merangkak membuat Soekarno tak bisa berbuat banyak. Apalagi dengan PKI yang terus merongrongnya.
Maka jalan tengah yang harus diambil dengan menyatukan kelompok nasionalis, agama, dan komunis dalam satu ide Nasakom menjadi gerbang kehancurannya. Memang tidak ada demo yang mengecam dan menuntut Soekarno ditangkap dan ditahan, selain pembubaran PKI.
Tetapi keputusan Orde Baru yang notabene militer sebagai penguasa baru merumahkan Soekarno merupakan sebuah hinaan bagi seorang kepala negara oleh suatu kelompok dengan Surat Perintah Sebelas Maret yang masih diragukan ada dan keabsahannya.
Soeharto
Modal hutang sana sini dari IGGI, CGI, Bank Dunia, dan IMF ditempuhnya. Sayang sekali, mental dan sikap bawahannya yang korup ditambah lagi sikap pemerintah yang alergi kritik, menyebabkan negeri ini jauh di luar kontrol.
Digelontornya rupiah di pasaran bebas oleh George Soros sehingga rupiah terjun bebas terhadap dolar Amerika dan ekonomi Indonesia kelimpungan bahkan di ambang keambrukan. Rakyat pun menjerit, sehingga orang-orang yang berada di baik Soeharto pun keder dan meninggalkan Soeharto dalam kesendirian. Hanya ditemani oleh B.J Habibie, 5 ulama, dan jendral yang setia, Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden dan mengangkat B.J Habibie sebagai penggantinya.
Tak puas dengan sekedar pengunduran diri Soeharto, para elite politik dan penentangnya terus berusaha memenjarakan Beliau dengan tuduhan KKN. Sekalipun Soeharto dalam keadaan sakit parah. Para penentangnya tak peduli lagi dengan pandangan Beliau yang sering didengungkan yakni 'mikul dhuwur mendhem jeruh'
B.J Habibie
Menjadi presiden karena diangkat Soeharto, dianggap tidak konstitusional. Maka, B.J Habibie yang tegas tidak mau berlama-lama menjadi presiden dan menyerahkan pada wakil rakyat untuk memilih presiden baru. Apalagi saat itu, B.J Habibie dianggap menyebabkan Timor Timur lepas. Sekalipun sebenarnya dengan lepasnya Timor Timur, negeri kita tidak terbebani lagi secara ekonomi dan hubungan internasional yang mengganggu di mata dunia.
Dalam hujatan, B.J Habibie tidak terlalu banyak mengalami. Kesabaran Beliau membuatnya sebagai seorang teknokrat yang dihargai.
Abdulrachman Wachid (Gus Dur)
Gus Dur sebagai presiden ke 4 negeri ini, sebenarnya korban ambisius poros tengah yang tidak setuju dengan keberhasilan PDIP menjadi pemenang Pemilu dan mencegah terpilihnya Megawati sebagai presiden. Seperti halnya yang dialami Soekarno, negeri yang sedang di ambang chaos ini, banyak dilanda kerusuhan etnis, pencurian dan pembabatan hutan.
Dengan berbagai cara, wakil rakyat meminta Gus Dur mundur sebagai presiden. Dan kuncinya sangat sederhana, yakni kasus Bulog Gate yang nilainya tidak seberapa.
Megawati selaku wakil presiden pun maju ke tampuk pimpinan, bukan ketua MPR yang maju.
Megawati
Maka kesempatan yang baik ini digunakan oleh pembantunya untuk maju sebagai presiden.
Susilo Bambang Yudhoyono
SBY mememangkan perebutan sebagai presiden dengan harapan rakyat kembali dalam kesejahteraan dan kemakmuran serta kedamaian. Keberhasilan melunakkan GAM dengan perundingan di OSLO membuat reputasi Beliau tidak diragukan lagi. Tak ayal, rakyat pun percaya untuk memilih dua kali.
Namun bukan berarti Beliau tidak pernah dikecam selain sekedar dikritik. Kasus korupsi yang dilakukan elite Partai Demokrat dan Kasus Hambalang serta beberapa proyek mercuasuar yang gagal atau tertunda, membuat SBY menjadi bulan-bulanan hingga saat ini.
Joko Widodo
Jokowi boleh dikatakan presiden paling apes di balik kesabarannya menghadapi semua hujatan yang menimpa dirinya selain sebagai presiden juga selaku pribadi. Bahkan karena 'kalajengking' pun, Jokowi disorot dan dihujam.
Di luar partai politik, hujaman dan penghinaan pun dialami oleh tokoh yang selama ini sangat dihormati setidaknya oleh warga Jogjakarta, yakni Sri Sultan Hamengku Buwana X. Kata-kata dan tulisan tak layak dan jauh dari etika tercetus dari seorang mahasiswa yang seharusnya berpikir kritis. Apalagi dengan cara mendompleng buruh di Hari Buruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H