Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencaci Pemimpin Bangsa Bagian dari Cara Berpolitik Kita?

5 Mei 2018   19:52 Diperbarui: 5 Mei 2018   21:15 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi pemimpin, bagi seseorang mungkin salah satu ambisi yang harus dicapai. Termasuk dalam hal yang kecil sekalipun, misalnya menjadi ketua kelas, ketua paguyuban PKL, atau ketua komunitas pecinta hewan. Mungkin yang paling dihindari hanya menjadi ketua RT dan RW. Alasannya terlalu sibuk bekerja dan tidak mendapat keuntungan, sebaliknya sering disindir dan dikritik. Bahkan kalau ada warganya yang terjerat kasus hukum malah kadang ikut diselidiki oleh aparat keamanan.

Menjadi seorang pemimpin memang bukan hal yang mudah, menyatukan berbagai pandangan dan pendapat dari berbagai macam golongan dan kelompok sesuai dengan misi dan visi organisasi yang dipimpinnya.

Menjadi ketua kelas belum tentu bisa menjadi ketua OSIS. Bisa menjadi ketua salah satu unit kegiatan mahasiswa belum tentu bisa menjadi ketua BEM. Bisa menjadi lurah belum tentu bisa menjadi camat. Bisa menjadi walikota belum tentu bisa menjadi gubernur. Bisa menjadi gubernur belum tentu bisa menjadi presiden.

Dengan alasan terakhir inilah, maka ketika Gubernur DKI Joko Widodo akan maju menjadi presiden di tahun 2014 banyak orang yang menyangsikan dan tidak senang. Dalam kampanye hitam yang dilakukan secara tidak langsung dalam sosialisasi Kurikulum 13 bagi guru dan pertemuan sebuah organisasi yang penulis ikuti, seorang menteri saat itu dengan lantang mengatakan 'sebagai walikota Solo seorang Jokowi hanya memimpin 3 kecamatan. Dan sebagai gubernur DKI, Jokowi belum teruji sepenuhnya....'

Maka ketika Jokowi berhasil duduk di kursi RI 1, banyak orang yang tidak setuju tetap menunjukkan ketidaksenangannya. Bahkan ketika prestasi telah ditunjukkan, nilai minus akan selalu ditonjolkan dengan berbagai cara yang tidak bijak. Termasuk para tokoh yang seharusnya menjadi panutan.

Mengkritisi bolehlah. Menyindir secara halus bisa dmaklumi. Tetapi menghujat dan menghujat bagai menusukkan tombak secara pelan untuk membunuh karakter adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu dilakukan.

Apa yang dialami Presiden Jokowi, sebenarnya juga pernah dialami presiden kita terdahulu. Mari kita lihat.

Soekarno

Tribunnews.com
Tribunnews.com

Sebagai seorang pejuang yang keluar masuk penjara dan seorang proklamator kemerdekaan, bangsa Indonesia berharap pada Beliau bisa membawa kesejahteraan dan kemakmuran. Namun bukanlah hal muda untuk menyatukan negeri yang multi etnis ini. Pemberontakan sana sini yang menguras pikiran, tenaga, dan perekonomian yang masih merangkak membuat Soekarno tak bisa berbuat banyak. Apalagi dengan PKI yang terus merongrongnya.

Maka jalan tengah yang harus diambil dengan menyatukan kelompok nasionalis, agama, dan komunis dalam satu ide Nasakom menjadi gerbang kehancurannya. Memang tidak ada demo yang mengecam dan menuntut Soekarno ditangkap dan ditahan, selain pembubaran PKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun