Sebuah pernyataan dari keadaan yang perlu ditanyakan, mengapa ada sebuah perbedaan penanganan.
Keadaan seperti ini bukan hanya di Jogja yang disebut sebagai pusat budaya Jawa, tetapi juga di kota-kota lain.
Entah karena sudah sering menonton atau kurang menarik karena penampilannya yang lusuh termasuk alat musiknya, pengamen seni tradisional jaran kepang boleh dikatakan sepi penonton. Para pengunjung CFD hanya melihat sambil lalu saja. Hanya satu dua yang mau menaruh uang receh. Dua tiga orang penonton tampak asyik dengan kamera DSLRnya untuk mengambil gambar dari berbagai sudut. Setelah puas, mereka pun pergi meninggalkan pengamen tanpa jejak apa pun apalagi lembaran uang kertas. Hingga jam sembilan pagi saat CFD sudah lewat, uang lima belas ribu terkumpul. “Lumayan, bisa untuk sarapan…,” ujar Mbah Rebo seniman dan pengendang dari Ponorogo ini.
Mbah Rebo bersama anak cucunya ini, sangat mengucapkan terima kasih ketika penulis memberikan sebungkus rokok klembak menyan yang sengaja penulis bawa untuk latihan menari di Sekolah Budaya Tunggul Wulung Malang. Lalu Beliau pun mengungkapkan akan kembali ke Ponorogo karena mengamen di Malang yang dianggapnya sebagai kota besar tak dapat diharapkan untuk menambah penghasilan sebagai seniman jalanan. Penulis pun tak tega dan membelinya ketika Beliau menawarkan lima topeng buatannya.
Seni memang sebuah ungkapan jiwa setiap pelakunya yang tak dapat dinilai dengan uang. Tetapi apresiasi dan penghargaan pada para seniman atas budaya tradisional yang merupakan bagian dari budaya nasional harus dipelihara dan dipupuk oleh insan yang memilik budaya tersebut. Tak peduli seniman tersebut adalah orang-orang pinggiran yang tersisih secara sosial karena ekonomi atau pendidikan.
Salam budaya. Rahayu…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H