Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Tradisional Bukan Seni (Jalanan) Murahan

27 Februari 2017   14:42 Diperbarui: 28 Februari 2017   04:00 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah pernyataan dari keadaan yang perlu ditanyakan, mengapa ada sebuah perbedaan penanganan.

Keadaan seperti ini bukan hanya di Jogja yang disebut sebagai pusat budaya Jawa, tetapi juga di kota-kota lain.

Kelompok musik angklung dan seorang penonton yang ikut berjoged. | dokpri
Kelompok musik angklung dan seorang penonton yang ikut berjoged. | dokpri
Atraksi sembur api dari mulut pada pertunjukan jaran kepang di selatan Malioboro.| dokpri
Atraksi sembur api dari mulut pada pertunjukan jaran kepang di selatan Malioboro.| dokpri
Pada hari Minggu, saat car free day di sepanjang Jalan Besar Ijen Malang banyak komunitas yang unjuk diri dengan segala ketrampilan dan kemampuan yang mereka punyai, mulai: senam, yoga, termasuk juga para pengamen seni tradisional.

Entah karena sudah sering menonton atau kurang menarik karena penampilannya yang lusuh termasuk alat musiknya, pengamen seni tradisional jaran kepang boleh dikatakan sepi penonton. Para pengunjung CFD hanya melihat sambil lalu saja. Hanya satu dua yang mau menaruh uang receh. Dua tiga orang penonton tampak asyik dengan kamera DSLRnya untuk mengambil gambar dari berbagai sudut. Setelah puas, mereka pun pergi meninggalkan pengamen tanpa jejak apa pun apalagi lembaran uang kertas. Hingga jam sembilan pagi saat CFD sudah lewat, uang lima belas ribu terkumpul. “Lumayan, bisa untuk sarapan…,” ujar Mbah Rebo seniman dan pengendang dari Ponorogo ini.

Mbah Rebo bersama anak cucunya ini, sangat mengucapkan terima kasih ketika penulis memberikan sebungkus rokok klembak menyan yang sengaja penulis bawa untuk latihan menari di Sekolah Budaya Tunggul Wulung Malang. Lalu Beliau pun mengungkapkan akan kembali ke Ponorogo karena mengamen di Malang yang dianggapnya sebagai kota besar tak dapat diharapkan untuk menambah penghasilan sebagai seniman jalanan. Penulis pun tak tega dan membelinya ketika Beliau menawarkan lima topeng buatannya.

Seni memang sebuah ungkapan jiwa setiap pelakunya yang tak dapat dinilai dengan uang. Tetapi apresiasi dan penghargaan pada para seniman atas budaya tradisional yang merupakan bagian dari budaya nasional harus dipelihara dan dipupuk oleh insan yang memilik budaya tersebut. Tak peduli seniman tersebut adalah orang-orang pinggiran yang tersisih secara sosial karena ekonomi atau pendidikan.

Salam budaya. Rahayu…..

Terus berjoged sekalipun sepi penonton.
Terus berjoged sekalipun sepi penonton.
* Semua foto dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun