“Niatmu sudah kuat. Gamannya kurang kuat. Malam Jumat Legi jam sebelas malam kamu ke sini lagi dengan salah satu keluargamu sambil membawa linggis.”
“Linggis? Kok gedhe banget Mbah… apa bisa dimasukkan ke dalam tubuh mereka?”
“Kalau kamu ragu kemampuanku kenapa datang ke sini?”
Kamis Kliwon, malam Jumat Legi
Malam Jumat Legi, seperti biasa aku hanya duduk-duduk di lincak sambil menikmati nyanyian alam nan merdu. Siulan angin yang menggoyang pucuk-pucuk kenanga yang menebarkan keharuman khas desa dengan iringan suara reknong dan belalang serta sekali-kali ciutan burung bence menambah sakralnya malam ini. Di timur laut tampak purnama mengintip di balik awan di ujung Semeru. Suara kodok jauh di persawahan bercampur lagu dangdut yang sayup-sayup membuat diriku lupa bahwa malam ini akan ada tamu yang mempunyai niat nekat.
Kala akan masuk ke rumah, ada dua sorot lampu sepeda motor memasuki halaman rumah. Setelah menghentikan sepeda motornya di bawah kembang kenanga mereka menyapaku dengan sopan.
“Nuwun… Mbah. Menapa dalemipun Mbah Taslam?” ( Permisi Mbah…. Apa ini rumahnya Mbah Taslam?)
“Ya….aku dhewe.” ( Ya… aku sendiri )
Mereka pun salim padaku dan kupersilahkan masuk. Di dalam rumah mereka menceritakan kalau Marji yang malam ini janji datang ke sini sedang rawat inap di sebuah rumah sakit. Sakitnya aneh. Dadanya terasa nyeri dan sesak, tetapi menurut diagnose dokter semua normal saja.
Mereka pun minta padaku agar membantu menyembuhkan dan besok diminta datang ke rumah sakit.