“Hanya sedikit Mbah….”
“ Tak apa. Sudah kamu bawa?”
“ Sudah Mbah…” katanya sambil mengeluarkan tiga bungkusan kertas lusuh. Sebuah berisi beberapa paku tanggung. Sebuah lagi berisi jarum, peniti, paku kecil, dan mur baut. Dan yang lain berisi dua bongkah kecil kemenyan.
“Sungguh ini kemenyan Jawa?” tanyaku meyakinkan.
“Iya Mbah…”
Aku hanya mengangguk namun yakin ini memang kemeyan yang sering kupakai.
“Kau berani pulang dari tepi hutan ini pada jam dua belas malam?”
“Kok malam Mbah?”
“ Gak berani?”
“Berani Mbah… berani…”
“Nah….gitu. Ini kan wetonmu. Tanda kejayaanmu. Tanda kekuatanmu untuk hidup di dunia. Pada malam inilah ibumu berjuang antara hidup dan mati demi kehidupanmu. Kau harus tirakat. Bukan untuk mencari kesenangan diri saja….”