[caption caption="Jutaan metrik ton pasir dan debu menimbun kawasan tersebut, Suket Ijen tetap bertahan."]
Setelah berkali-kali ke sana sendirian, tahun 2008 dan 2010 saya kembali ‘meneliti’ kembali dengan mengajak seorang ahli geolog, seorang dosen pertambangan PTN di Malang dan mengatakan memang benar itu adalah salah satu kepundan di antara puluhan kawah kuno. Jadi bukan pasir hisap seperti yang kuduga semula.
Januari 2011, saat menghantar masker lalu terjebak di lumpur lautan pasir di tengah letusan Gunung Bromo, kami sekeluarga mencari daerah tersebut apakah masih ada. Sambil menunggu bantuan selama 30 menit kami berhasil menemukannya walau keadaannya sedikit berubah karena tertutup batu dan pasir. Namun, onggokan rumputnya masih ada.
Walau gemuruh dan semburan debu vulkanik Bromo awal 2011 demikian menggelora tetap kami selamat. Kami berdoa mengucap syukur dan untuk mengenang daerah tersebut kami menyebut daerah tersebut dengan sebutan ‘Suket Ijen’ artinya rumput yang tumbuh sendirian.
[caption caption="Akhir November 2015, Suket Ijen tak sendirian lagi. Sudah punya teman seonggok rumput sejenis. Mungkin anaknya atau pasangannya."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H